Karena sifat aku yg kekanakan, egois, dan ngambekan, suatu hari untuk ke sekian kalinya kami bertengkar. Lalu setelah melalui perdebatan panjang, perasaan bersalah, permintaan maaf, dan perjanjian (lagi) untuk tidak mengulangi, dia masih merasa sedih dan kesal. Kali ini sungguh lebih parah dari pertengkaran sebelumnya. Aku takut, bingung, berkali-kali sudah aku meminta maaf dan mengiyakan semua uneg-unegnya. Memang sudah terlalu banyak dia bersabar terhadap sikapku. Sungguh aku keterlaluan kali ini. Entah aku juga tak paham mengapa begitu mudah sesuatu yang kecil kujadikan seolah-olah masalah besar sehingga membuatnya tersudut, lelah, dan pusing, apalagi sebulan terakhir pekerjaan kantor membuatnya letih.
"Aku mau video call." Kuketikkan pesan itu kepadanya setelah percakapan panjang di aplikaso chatting.
"Malam ini gak usah video call. Pakai chat aja. Aku lagi rebahan. Mood-ku belum bagus. Masih sedih dan kesal."
"Tapi aku pengen lihat kamu."
"Lihat foto aku aja."
"Aku udah di kamar. Aku tungguin ya."
Tidak ada jawaban.
Air mataku mulai mengalir. Kuambil guling dan kudekapkan wajahku. Aku menangis sejadi-jadinya. Sudah lama aku tidak menangis keras seperti ini. Aku takut, aku sedih, tapi terutama aku benci diriku sendiri. Kenapa begitu mudah mencari perkara? Mengapa perasaan cinta dan sayang yang kumiliki bisa berubah menyakitkan baginya? Aku sungguh tak mengerti.
"Call aja boleh?" Ketikku lagi setelah beberapa saat menangis. Aku tidak tahan, aku sungguh ingin melihatnya langsung atau sekedar mendengar suaranya.
Tanpa menunggu lama, kusentuh icon "call" di ponsel. Setelah beberapa nada sambung, teleponku diangkat.
"Halo, kenapa?" Tanyanya
"Nggak. Mau call aja."
"Kamu gimana keadaannya?"
Aku tak langsung menjawab. Masih tak paham mengapa aku sangatlah jahat. Lihatlah dia, sedang kesal dan marah aja masih mau menanyakan keadaanku.
"Suara kamu kenapa?" Tanyanya lagi setelah satu-dua pertanyaan dia lontarkan.
"Gak apa-apa."
"Kamu nangis?"
Lagi-lagi aku terdiam. Air mata kembali mengalir. Kutaruh ponsel di sampingku lalu, segera mengusapnya.
"Tut tut.." ponsel di sampingku berbunyi pelan. Aku menoleh dan kulihat permintaan video call tertulis di sana. Aku menerimanya, lalu wajahnya pun terlihat di layar ponselku.
Padahal tadi dia tidak ingin video call. Tapi setelah tau aku menangis, dia yang memulai panggilan video tersebut. Percakapan kami malam itu pun untungnya diakhiri dengan berbaikan lagi, dan semoga ini yang terakhir kalinya untuk masalah yang sama. Aku berjanji akan berusaha dan belajar untuk tidak lagi mempermasalahkan hal-hal sepele seperti ini.
Aku tak tahu harus bersyukur bagaimana lagi, harus meminta yang bagaimana lagi. Dia terlampau baik, terlampau sempurna untuk aku yang memiliki banyak kekurangan.