“Eun Hwa, kau yakin mau meneruskan pernikahan ini?” sahabatku, Kang Ji
Soo bertanya padaku dengan ekspresi cemas. Saat ini aku sedang duduk di ruang
rias, menunggu pesta pernikahanku dimulai. Aku hanya mengangguk lemah tanpa
menatap sahabatku itu. Hal itu pula yang kulakukan pada semua teman-temanku
yang menanyakan hal yang sama.
“Kau mencintainya?” ini pertanyaan telak yang sangat menusuk-nusuk
hatiku, dan aku hanya bisa diam.
“Aku tau kau tidak mencintainya. Lalu kenapa kau mau menikah dengannya?”
“Aku menyukainya.” Kataku akhirnya.
“Eun Hwa, suka dan cinta itu dua hal yang berbeda. Katakan padaku, kenapa
kau berbuat seperti ini?”
Lagi-lagi aku terdiam.
“Baiklah, terserah padamu. Kau yang menjalani pernikahan ini. Tapi aku
sangat berharap kau bisa berpikir ulang. Masih ada waktu untuk membatalkannya.
Pikirkan baik-baik.”
Ji Soo meninggalkanku sendiri di ruang rias. Sekali lagi aku menghela
nafas. Aku juga tidak tau mengapa pada akhirnya aku menerima lamaran Heechul.
Kami memang sudah saling mengenal sejak lama. Aku, Heechul, dan Ji Soo. Saking
lamanya kami berteman, aku jadi sangat bergantung pada mereka, terutama Heechul,
dia sudah seperti kakakku sendiri. Dia selalu membantuku di saat aku kesulitan,
juga menghiburku di saat aku sedih. Aku senang berada di dekatnya, rasanya
tidak ada yang perlu kutakutkan jika ada Heechul. Namun semua itu berubah sejak
kehadiran Sungmin. Dia adalah pegawai baru di kantorku sejak satu tahun yang
lalu. Apakah kalian pernah mengalami suatu kejadian di mana kalian memandang
seseorang untuk pertama kalinya dan hatimu langsung berdebar-debar seolah
berkata “Dia orangnya!”? Aku pernah mengalaminya. Ya, saat pertama kali
memandang Sungmin, hatiku langsung melonjak kegirangan, berdebar-debar,
seolah-olah aku pernah mengenal dia sebelumnya.
Kuakui, Sungmin memang tampan. Ah, mungkin tidak bisa dibilang tampan
karena wajahnya cenderung manis dan imut seperti anak kecil, walaupun usianya
sudah menginjak 30 tahun. Dia sosok yang pintar dan memiliki pengetahuan yang
luas. Bahkan atasan kami sering memujinya. Selama 3 bulan pertama aku hanya
bisa memandangnya dari kejauhan, hanya saling bertegur sapa jika kebetulan
bertemu. Itu saja sudah membuatku berdebar-debar dan susah tidur. Setiap kali
aku berbicara padanya, aku selalu menumpahkan kegembiraanku pada buku diary.
Tentu saja Heechul dan Ji Soo tidak mengetahui hal ini. Bahkan sampai saat ini
aku tidak memberitahu mereka bahwa aku mencintai Sungmin. Bukannya aku tidak
percaya pada mereka, tapi aku sendiri tidak tahu bagaimana memberitahu mereka
tentang perasaanku ini. Aku memang tidak pandai mengungkapkan perasaanku.
Lalu pada bulan keempat, aku mendapat sebuah tugas yang mengharuskanku
bekerja sama dengan Sungmin. Sejak saat itulah aku mulai dekat dengannya. Aku
senang sekali dan berharap bahwa kedekatan kami akan berkembang lebih jauh.
Namun semua itu tinggal harapan. Sungmin tidak pernah menembakku. Bodoh sekali
aku berharap terlalu jauh. Berkali-kali aku mengira bahwa Sungmin juga
menyukaiku, tapi mungkin saja itu hanya perasaanku, aku yang terlalu jauh
mengkhayal. Mungkin Sungmin hanya menganggapku rekan kerjanya.
Sampai pada akhirnya Heechul tiba-tiba saja menembakku, bahkan langsung
melamarku. Kejadian ini terjadi saat ia mengajakku makan malam hanya berdua.
Awalnya aku tidak menaruh curiga karena Heechul bilang Ji Soo tidak bisa ikut
karena ada urusan mendadak. Namun selesai makan malam, tiba-tiba saja Heechul
mengeluarkan sebuah cincin dan menyatakan perasaannya padaku. Entah apa yang
merasukiku saat itu, aku langsung mengangguk dan menerima lamarannya. Mungkin
aku sudah sangat putus asa atas hubunganku dengan Sungmin sehingga aku tidak
bisa lagi berpikir panjang. Lagipula tidak ada salahnya menikah dengan Heechul,
dia sudah sangat mengenalku, begitu pula sebaliknya. Bukankah ini justru bagus?
Kami sudah bisa menerima satu sama lain apa adanya.
Yah, keputusan sudah diambil. Aku tidak bisa mundur lagi. Menyesal pun
tidak ada gunanya sekarang karena hari ini adalah hari pernikahanku.
***
Aku berdiri di ambang pintu gereja. Para tamu menatapku dengan takjub. Lalu
beberapa saat kemudian aku pun mulai melangkah menuju podium diiringi ayahku.
Aku menatap sekelilingku. Tak butuh waktu lama untuk menemukan sosok Sungmin.
Aku memang selalu bisa menemukannya sekalipun di tempat yang sangat ramai. Sungmin
tersenyum melihatku, dan senyuman itu membuat hatiku perih. Aku langsung
mengalihkan pandanganku, berpura-pura tidak melihatnya dan focus pada Heechul
yang sudah berdiri di hadapanku smabil tersenyum. Bahkan senyuman Heechul yang
biasanya dapat membuatku tenang, kini malah membuatku semakin ingin menangis.
Bukan dia yang kucintai, aku baru benar-benar menyadarinya sekarang. Seandainya
yang menungguku di depan podium saat ini adalah Sungmin, pasti wajahku akan
dipenuhi oleh senyuman bahagia. Sekarang, untuk tersenyum pun sangat sulit.
Daripada aku meneteskan air mata saat memaksakan senyuman, lebih baik aku diam
saja.
Begitu sampai di hadapan Heechul, ayahku melepaskan genggaman tangannya
dan menyerahkan tanganku pada Heechul.
Lalu ayah menepuk bahu Heechul seakan berkata “jaga putriku baik-baik.”
Kemudian duduk di kursi barisan paling depan. Aku menatap ayah dengan sedih,
perasaanku sama seperti saat aku pertama kali duduk di bangku TK, aku tidak
ingin ayah pergi meninggalkanku bersama teman-teman yang masih sangat asing
bagiku. Tapi yang ada di hadapanku saat ini bukanlah orang asing. Dia adalah Heechul,
tapi mengapa aku bisa merasakan perasaan seperti itu?
“Kau sakit?” bisik Heechul di telingaku.
Aku sedikit terkejut lalu menggeleng.
“Syukurlah..” lagi–lagi Heechul tersenyum dan menuntunku berjalan menuju
podium. Aku melingkarkan lenganku pada lengan Heechul. Ini pertama kalinya aku
berjalan beriringan sambil bertautan lengan seperti ini dengan Heechul, tapi
aku sama sekali tidak merasa bahagia. Aku merasa sangat asing. Hubungan ini
seharusnya tidak seperti ini.
“Kau yakin baik-baik saja?” aku tau sejak tadi Heechul terus
memandangiku, dan aku sama sekali tidak bisa tersenyum. Aku malah jadi salah
tingkah dipandangi oleh Heechul.
Aku hanya mengangguk tanpa memandang Heechul. Acara pernikahanku pun
dimulai. Pastur mulai membacakan janji-janji yang harus dipatuhi oleh sepasang
suami-istri. Aku sama sekali tidak fokus, semua perkataan pastur itu bagaikan
angin lalu.
“Saudara Kim Heechul, apakah Anda bersedia menjadi suami dari saudari Song
Eun Hwa, menjadi ayah yang baik dari anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada
saudara, saling menghormati, mengasihi, dan menyayangi di saat senang maupun
susah seumur hidup Anda?”
Aku memejamkan mata. Sebentar lagi adalah giliranku. Ya, Tuhan, apa yang
harus kulakukan? Sudah benarkah keputusanku ini. Tapi hatiku sungguh sangat
menolak pernikahan ini. Tapi aku sudah sampai di sini, aku sudah tidak mungkin
lagi membatalkannya. Aku menjerit dalam hati.
“Tidak. Saya tidak bersedia.”
Aku langsung membuka mataku dan dengan cepat memandang Heechul tidak
percaya. Suasana gereja menjadi sangat hening. Pastur pun terdiam. Keheningan
ini terasa sangat lama hingga akhirnya ayahku bangkit dan berkata, “Apa
maksudmu, Heechul?”
Heechul membalikkan tubuhnya. Semua tamu memandang kami, terutama Heechul,
dengan tatapan tidak percaya. Ada juga yang memandangnya dengan tatapan
mencemooh. Aku sungguh tidak tau apa yang dilakukan Heechul. Mengapa ia berkata
tidak? Mengapa ia mempermalukan dirinya seperti ini?
Heechul membungkuk lalu menegakkan badannya.
“Aku sungguh minta maaf kepada semua hadirin, terutama kepada keluarga Eun
Hwa dan keluargaku, juga pada Eun Hwa. Aku sungguh tidak bisa meneruskan
pernikahan ini. Sebenarnya aku.. tidak mencintai Eun Hwa. Aku sungguh tidak
bisa meneruskannya. Maaf.”
“Keterlaluan!” ayah Heechul menghampiri kami dan menampar Heechul dengan
keras. Aku sangat terkejut. Ini sungguh di luar dugaan. Mengapa jadi seperti
ini? Kenapa Heechul melakukan hal ini?
“Kau tidak memikirkan perasaan Eun Hwa?! Berani-beraninya kau
menghancurkan pernikahan ini! Kau..” ayah Heechul mulai limbung, para hadirin
yang duduk di dekat kami langsung membantu memapahnya, begitu pula denganku.
Acara pernikahan pun batal begitu saja. Para tamu kecewa, ada beberapa
yang mengumpat Heechul, berkata bahwa ia sungguh pria yang kejam.
Kami membawa ayah Heechul ke rumah sakit. Untungnya kondisi beliau masih
stabil, hanya perlu beristirahat. Aku yang masih mengenakan gaun pengantin pun
duduk di ruang tunggu rumah sakit. Heechul duduk di sebelah kami. Hanya ada
kami berdua saat ini. Keluarga kami yang lain sebagian sudah pulang, sisanya
sedang mengurus administrasi dan menjaga ayah di dalam kamar.
“Kenapa?” aku memulai pembicaraan.
“Apa?”
“Kenapa kau melakukan ini? Kau tidak memikirkan ayahmu? Kau tidak
memikirkan dirimu sendiri? Kau sudah mempermalukan diri sendiri di gereja.”
“Aku tau ayahku akan kaget. Syukurlah ayah tidak apa-apa. Dan aku tidak
peduli pada apa yang akan orang-orang katakan tentangku. Aku lebih memikirkan
dirimu.”
“Kenapa denganku? Aku baik-baik saja.”
“Kau sungguh tidak baik-baik saja, Eun Hwa. Aku tau kau tidak
menginginkan pernikahan ini.”
Aku memandang Heechul tidak percaya. Dia tau perasaanku?
“Sepanjang acara pernikahan, kau sama sekali tidak tersenyum. Mempelai
mana yang sama sekali tidak tersenyum di acara pernikahannya sendiri? Bahkan
jauh sebelum kita menikah, aku tau aku hanya bertepuk sebelah tangan. Tapi aku
sungguh egois. Aku nekat melamarmu. Saat kau menerima lamaranku, aku sangat
senang. Kupikir aku sudah bisa mengambil hatimu. Tapi kau tetap saja tidak
pernah tersenyum bahagia saat bersamaku. Egoku juga tidak hilang, aku terus
berusaha membuatmu tertawa dan bahagia. Tapi sampai hari ini pun, aku tidak
pernah mendapat tempat di hatimu. Daripada aku melihatmu menderita seumur
hidup, lebih baik aku melepaskanmu.”
“Kau.. tau?”
“Aku sangat mengenalmu lebih dari yang kau tahu, Eun Hwa. Aku juga tau
kau mencintai Sungmin.”
“Apa?!” kali ini aku sungguh-sungguh terkejut.
Heechul tersenyum. “Sudahlah, kau tidak perlu lagi menutupinya. Aku tau
semua perasaanmu. Kau mencintainya, benar kan?”
Aku menunduk. Lalu kemudian mengangguk.
“Si bodoh itu..” Heechul bergumam.
“Apa?”
“Ah tidak. Kau mau minum sesuatu? Biar aku belikan. Kau pasti lelah.”
Aku mengangguk lagi. Heechul pun pergi meninggalkanku sendirian di ruang
tunggu.
“Eun Hwa!! Eun Hwa!” seseorang memanggilku.
Sungmin?? Seketika itu juga jantungku berdetak cepat. Kenapa Sungmin ada
di sini? Sungmin duduk di sebelahku dan menatapku dengan khawatir.
“Kau tidak apa-apa?”
Aku tersenyum.
“Tidak apa-apa. Paman Kim baik-baik saja, aku jadi tenang.”
“Eh? Em.. Yah, syukurlah kalau begitu. Bagaimana denganmu? Kau tidak
apa-apa?”
“Aku tidak apa-apa.”
“Benarkah? Pernikahan ini batal begitu saja. Kau pasti sangat sedih. Mana
Heechul? Berani-beraninya dia membatalkan pernikahan ini!” gumamnya marah.
“Tidak perlu. Aku malah senang pernikahan ini batal.”
“A.. Apa?”
Aku menghela nafas panjang.
“Sebenarnya.. Bukan Heechul yang tidak mencintaiku. Aku yang tidak
mencintainya. Dia melindungiku. Dia mempermalukan dirinya sendiri karena aku.”
“Apa?”
“Yah, aku memang menganggapnya kakak, tidak lebih. Dia baik sekali.
Seandainya saja aku bisa mencintainya, mungkin hari ini adalah hari yang paling
bahagia seumur hidupku.”
“Lalu.. Kenapa kau mau menikah dengannya? Maksudku.. Kenapa kau menerima
lamarannya?”
Aku terdiam. Bagaimana aku harus menjawabnya? Haruskah aku berkata bahwa
ini semua karena Sungmin? Karena aku sudah putus asa dengan hubungan kami?
“Ah maaf. Tidak apa-apa jika kau tidak mau menjawab.”
“Karena aku mencintai seseorang.” Kataku akhirnya. “Dan aku sudah putus
asa dengan hubungan itu. Lalu tanpa pikir panjang aku menerima lamarannya.”
“Benarkah?”
Aku mengangguk.
“Lalu siapa pria yang kau cintai itu? Bodoh sekali dia tidak menembakmu.
Kau ini cantik, pintar, dan menyenangkan. Hah, dia akan menyesal!”
“Benarkah? Benarkah kau akan
menyesal? Apakah kau termasuk bodoh jika tidak menembakku?” aku tersenyum
pahit.
“Bagaimana kalau denganku saja?”
Aku menatapnya dengan tidak percaya. Apa katanya? Apa dia serius
mengatakan hal itu? Apa dia sedang menembakku sekarang?
“A.. Apa?”
Sungmin tampak salah tingkah. Ia menggaruk-garuk kepalanya.
“Ehm.. Sebenarnya ini memang bukan waktu yang tepat. Tapi.. Kau lihat
sendiri, aku juga tampan dan pintar. Aku pasti tidak kalah jauh dengan pria
yang kau cintai itu kan?”
Aku terdiam. Apakah ini benar-benar terjadi?
“Ah, sudahlah, lupakan saja. Jangan serius begitu. Aku hanya bercanda,
supaya kau terhibur. Tapi ternyata leluconku payah. Maaf ya sudah membuatmu
terkejut..” Sungmin tersenyum.
“Ah, kau ini bodoh sekali!” aku sedikit membentak dan pergi meninggalkan Sungmin.
Sebenarnya bukan Sungmin yang bodoh, tapi aku. Mengapa aku bisa saja
mempercayai kata-katanya tadi? Sejak awal dia memang hanya menganggapku
temannya, tidak lebih. Dasar bodoh!
***
Sejak kejadian hari itu aku tidak lagi mempedulikan Sungmin. Aku tau
bahwa aku dan Sungmin akan tetap menjadi teman, selamanya akan begitu. Sedapat
mungkin aku tidak berpapasan dengannya di kantor. Aku selalu menghindarinya.
Jika memang sangat terpaksa harus berpapasan, aku hanya menyapa sekedarnya lalu
buru-buru pergi. Perasaan ini harus segera dihilangkan, aku harus move on! Tidak boleh terus-terusan
bersedih. Sungmin juga sepertinya tidak masalah dengan sikapku. Ia bahkan tidak
berusaha mendekatiku. Aku sedikit kecewa tapi mungkin memang ini jalan terbaik.
Sejak awal hubungan ini memang tidak mungkin ada kemajuan.
“Kau mau makan siang bersama?” suatu hari Sungmin menghampiri meja
kerjaku. Aku sedikit terkejut dan senang tapi aku tetap berusaha tenang.
“Tidak. Aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku.”
“Mau sampai kapan kau seperti ini?”
“Seperti ini bagaimana?”
“Kau sudah lebih dari sebulan menghindariku. Apa aku punya salah padamu?”
“Tidak. Hanya perasaanmu saja.”
“Sebenarnya akulah yang bersalah.”
Kataku dalam hati.
“Baiklah. Tapi kau harus makan, jangan sampai sakit.”
“Bukan urusanmu. Aku bisa makan sendiri jika aku lapar.”
“Ikut aku.”
Sungmin menarik tanganku begitu saja.
“Hey, mau ke mana?”
Sungmin tidak menjawab, ia terus menarikku hingga keluar kantor, lalu
berjalan menuju mobilnya. Ia membuka pintu penumpang dan menyuruhku masuk.
“Mau ke mana?”
“Masuk saja.”
Aku menggerutu kesal dan masuk ke dalam mobil. Sungmin membawaku ke
sebuah restoran outdoor. Aku belum pernah ke sini sebelumnya. Restoran ini
seperti sebuah taman, dengan meja yang disusun sedemikian rupa. Lalu di
tengah-tengah taman terdapat kolam dengan sebuah air mancur di tengahnya.
Romantis sekali tempat ini, mungkin khusus dibangun untuk pasangan yang ingin
berkencan.
“Ini restoran kesukaanku. Biasanya aku ke sini sendirian. Baru kali ini
aku mengajak seorang teman ke sini.”
“Teman..” aku mengulangi
perkataannya dalam hati.
“Pesan saja apa yang kau suka. Aku traktir.”
“Sudah kubilang aku tidak lapar. Dan aku bisa membayar sendiri.”
“Kau ini sebenarnya ada apa? Kau marah padaku?”
“Tidak. Kenapa aku harus marah?”
“Itulah yang ingin kutanyakan. Kau terus menghindariku. Sebenarnya apa
salahku?”
“Kau tidak punya salah.”
“Lalu mengapa kau bersikap seperti ini? Kalau kau ada masalah, ceritakan
padaku.”
“Memangnya kau ini siapa? Apa pedulimu terhadap masalahku?”
“Kita ini teman, kan? Aku bisa membantumu jika kau memang ada masalah.”
“Aku tidak punya masalah, dan kalaupun ada, aku tidak harus mengatakannya
padamu. Ya, kita ini teman, kita HANYA teman biasa. Mengapa kau begitu peduli
padaku?!”
“Karena aku menyukaimu!”
Aku terdiam.
“A.. Apa?”
“Aku menyukaimu. Aku.. Mencintaimu..”
“Kau tidak usah bercanda lagi. Kau tidak perlu menghiburku dengan lelucon
payahmu itu. Aku tidak akan percaya lagi padamu!”
“Aku serius! Waktu itu di rumah sakit aku juga serius. Aku tau kau
mencintai pria lain. Aku tidak mau membuatmu bingung, makanya aku pura-pura
berkata bahwa aku hanya bercanda. Sungguh!”
Air mataku mulai mengalir. Benarkah ini semua? Benarkah Sungmin ternyata
juga mencintaiku? Apakah ini hanya mimpi?
“Kau.. Kau ini bodoh sekali!!” aku meringis. Hatiku mulai berbunga-bunga
saat ini.
“Kenapa kau selalu mengatakan aku bodoh? Waktu itu kau juga bilang aku
bodoh.”
“Ya, kau memang bodoh! Kau tidak pernah menyadari perasaanku!”
“Maksudmu?”
“Bodoh! Pria yang aku cintai itu kau, Sungmin!”
“A.. Apa? Be.. Benarkah?” Sungmin meraih tanganku. Aku mengangguk dan
tersenyum.
“Dasar bodoh!” kataku pelan sambil tertawa.
“Bodoh sekali aku ini. Ya, aku bodoh.”
“Kita berdua bodoh. Aku juga tidak pernah menyadari perasaanmu.”
Sungmin tampak salah tingkah.
“Tapi sekarang kita sudah mengetahui isi hati masing-masing.” Sungmin
tersenyum. Senyuman yang selalu kusukai.
“Kau ini umur berapa? Kenapa manis sekali sih? Aku jadi terlihat lebih
tua darimu.” Kataku dengan wajah cemberut.
“Kau ini! Aku ini memang terlahir dengan baby face. Makanya kau bisa menyukaiku.”
Aku mendecak sebal.
“Jangan marah.. Kau juga manis, sungguh. Pria manis sepertiku pasti juga
menyukai wanita yang manis sepertimu.”
“Ya! Kau ini gombal sekali!”
“Sungguh!”
“Ah, sudahlah. Ayo kita pesan makan saja. Aku lapar!” kataku mengalihkan
pembicaraan.
Sungmin tersenyum melihatku yang salah tingkah.
“Kenapa kau senyum-senyum begitu? Ayo pesan!”
“Eun Hwa.. Saranghae..”
“Aish, cepat pesan!” aku menunduk malu dan pura-pura memilih makanan,
sedangkan Sungmin masih saja tersenyum lebar menatapku. Sungmin memang selalu
bisa membuatku berdebar-debar seperti ini. Hari ini adalah hari yang paling
membahagiakan bagiku.
“Saranghaeyo, Sungmin oppa..”
kataku dalam hati.
***
No comments:
Post a Comment