Thursday, October 24, 2013

We Are All Silly (Fan Fiction)

“Eun Hwa, kau yakin mau meneruskan pernikahan ini?” sahabatku, Kang Ji Soo bertanya padaku dengan ekspresi cemas. Saat ini aku sedang duduk di ruang rias, menunggu pesta pernikahanku dimulai. Aku hanya mengangguk lemah tanpa menatap sahabatku itu. Hal itu pula yang kulakukan pada semua teman-temanku yang menanyakan hal yang sama.
“Kau mencintainya?” ini pertanyaan telak yang sangat menusuk-nusuk hatiku, dan aku hanya bisa diam.
“Aku tau kau tidak mencintainya. Lalu kenapa kau mau menikah dengannya?”
“Aku menyukainya.” Kataku akhirnya.
“Eun Hwa, suka dan cinta itu dua hal yang berbeda. Katakan padaku, kenapa kau berbuat seperti ini?”
Lagi-lagi aku terdiam.
“Baiklah, terserah padamu. Kau yang menjalani pernikahan ini. Tapi aku sangat berharap kau bisa berpikir ulang. Masih ada waktu untuk membatalkannya. Pikirkan baik-baik.”
Ji Soo meninggalkanku sendiri di ruang rias. Sekali lagi aku menghela nafas. Aku juga tidak tau mengapa pada akhirnya aku menerima lamaran Heechul. Kami memang sudah saling mengenal sejak lama. Aku, Heechul, dan Ji Soo. Saking lamanya kami berteman, aku jadi sangat bergantung pada mereka, terutama Heechul, dia sudah seperti kakakku sendiri. Dia selalu membantuku di saat aku kesulitan, juga menghiburku di saat aku sedih. Aku senang berada di dekatnya, rasanya tidak ada yang perlu kutakutkan jika ada Heechul. Namun semua itu berubah sejak kehadiran Sungmin. Dia adalah pegawai baru di kantorku sejak satu tahun yang lalu. Apakah kalian pernah mengalami suatu kejadian di mana kalian memandang seseorang untuk pertama kalinya dan hatimu langsung berdebar-debar seolah berkata “Dia orangnya!”? Aku pernah mengalaminya. Ya, saat pertama kali memandang Sungmin, hatiku langsung melonjak kegirangan, berdebar-debar, seolah-olah aku pernah mengenal dia sebelumnya.
Kuakui, Sungmin memang tampan. Ah, mungkin tidak bisa dibilang tampan karena wajahnya cenderung manis dan imut seperti anak kecil, walaupun usianya sudah menginjak 30 tahun. Dia sosok yang pintar dan memiliki pengetahuan yang luas. Bahkan atasan kami sering memujinya. Selama 3 bulan pertama aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan, hanya saling bertegur sapa jika kebetulan bertemu. Itu saja sudah membuatku berdebar-debar dan susah tidur. Setiap kali aku berbicara padanya, aku selalu menumpahkan kegembiraanku pada buku diary. Tentu saja Heechul dan Ji Soo tidak mengetahui hal ini. Bahkan sampai saat ini aku tidak memberitahu mereka bahwa aku mencintai Sungmin. Bukannya aku tidak percaya pada mereka, tapi aku sendiri tidak tahu bagaimana memberitahu mereka tentang perasaanku ini. Aku memang tidak pandai mengungkapkan perasaanku.
Lalu pada bulan keempat, aku mendapat sebuah tugas yang mengharuskanku bekerja sama dengan Sungmin. Sejak saat itulah aku mulai dekat dengannya. Aku senang sekali dan berharap bahwa kedekatan kami akan berkembang lebih jauh. Namun semua itu tinggal harapan. Sungmin tidak pernah menembakku. Bodoh sekali aku berharap terlalu jauh. Berkali-kali aku mengira bahwa Sungmin juga menyukaiku, tapi mungkin saja itu hanya perasaanku, aku yang terlalu jauh mengkhayal. Mungkin Sungmin hanya menganggapku rekan kerjanya.
Sampai pada akhirnya Heechul tiba-tiba saja menembakku, bahkan langsung melamarku. Kejadian ini terjadi saat ia mengajakku makan malam hanya berdua. Awalnya aku tidak menaruh curiga karena Heechul bilang Ji Soo tidak bisa ikut karena ada urusan mendadak. Namun selesai makan malam, tiba-tiba saja Heechul mengeluarkan sebuah cincin dan menyatakan perasaannya padaku. Entah apa yang merasukiku saat itu, aku langsung mengangguk dan menerima lamarannya. Mungkin aku sudah sangat putus asa atas hubunganku dengan Sungmin sehingga aku tidak bisa lagi berpikir panjang. Lagipula tidak ada salahnya menikah dengan Heechul, dia sudah sangat mengenalku, begitu pula sebaliknya. Bukankah ini justru bagus? Kami sudah bisa menerima satu sama lain apa adanya.
Yah, keputusan sudah diambil. Aku tidak bisa mundur lagi. Menyesal pun tidak ada gunanya sekarang karena hari ini adalah hari pernikahanku.
***
Aku berdiri di ambang pintu gereja. Para tamu menatapku dengan takjub. Lalu beberapa saat kemudian aku pun mulai melangkah menuju podium diiringi ayahku. Aku menatap sekelilingku. Tak butuh waktu lama untuk menemukan sosok Sungmin. Aku memang selalu bisa menemukannya sekalipun di tempat yang sangat ramai. Sungmin tersenyum melihatku, dan senyuman itu membuat hatiku perih. Aku langsung mengalihkan pandanganku, berpura-pura tidak melihatnya dan focus pada Heechul yang sudah berdiri di hadapanku smabil tersenyum. Bahkan senyuman Heechul yang biasanya dapat membuatku tenang, kini malah membuatku semakin ingin menangis. Bukan dia yang kucintai, aku baru benar-benar menyadarinya sekarang. Seandainya yang menungguku di depan podium saat ini adalah Sungmin, pasti wajahku akan dipenuhi oleh senyuman bahagia. Sekarang, untuk tersenyum pun sangat sulit. Daripada aku meneteskan air mata saat memaksakan senyuman, lebih baik aku diam saja.
Begitu sampai di hadapan Heechul, ayahku melepaskan genggaman tangannya dan menyerahkan tanganku pada Heechul.  Lalu ayah menepuk bahu Heechul seakan berkata “jaga putriku baik-baik.” Kemudian duduk di kursi barisan paling depan. Aku menatap ayah dengan sedih, perasaanku sama seperti saat aku pertama kali duduk di bangku TK, aku tidak ingin ayah pergi meninggalkanku bersama teman-teman yang masih sangat asing bagiku. Tapi yang ada di hadapanku saat ini bukanlah orang asing. Dia adalah Heechul, tapi mengapa aku bisa merasakan perasaan seperti itu?
“Kau sakit?” bisik Heechul di telingaku.
Aku sedikit terkejut lalu menggeleng.
“Syukurlah..” lagi–lagi Heechul tersenyum dan menuntunku berjalan menuju podium. Aku melingkarkan lenganku pada lengan Heechul. Ini pertama kalinya aku berjalan beriringan sambil bertautan lengan seperti ini dengan Heechul, tapi aku sama sekali tidak merasa bahagia. Aku merasa sangat asing. Hubungan ini seharusnya tidak seperti ini.
“Kau yakin baik-baik saja?” aku tau sejak tadi Heechul terus memandangiku, dan aku sama sekali tidak bisa tersenyum. Aku malah jadi salah tingkah dipandangi oleh Heechul.
Aku hanya mengangguk tanpa memandang Heechul. Acara pernikahanku pun dimulai. Pastur mulai membacakan janji-janji yang harus dipatuhi oleh sepasang suami-istri. Aku sama sekali tidak fokus, semua perkataan pastur itu bagaikan angin lalu.
“Saudara Kim Heechul, apakah Anda bersedia menjadi suami dari saudari Song Eun Hwa, menjadi ayah yang baik dari anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada saudara, saling menghormati, mengasihi, dan menyayangi di saat senang maupun susah seumur hidup Anda?”
Aku memejamkan mata. Sebentar lagi adalah giliranku. Ya, Tuhan, apa yang harus kulakukan? Sudah benarkah keputusanku ini. Tapi hatiku sungguh sangat menolak pernikahan ini. Tapi aku sudah sampai di sini, aku sudah tidak mungkin lagi membatalkannya. Aku menjerit dalam hati.
“Tidak. Saya tidak bersedia.”
Aku langsung membuka mataku dan dengan cepat memandang Heechul tidak percaya. Suasana gereja menjadi sangat hening. Pastur pun terdiam. Keheningan ini terasa sangat lama hingga akhirnya ayahku bangkit dan berkata, “Apa maksudmu, Heechul?”
Heechul membalikkan tubuhnya. Semua tamu memandang kami, terutama Heechul, dengan tatapan tidak percaya. Ada juga yang memandangnya dengan tatapan mencemooh. Aku sungguh tidak tau apa yang dilakukan Heechul. Mengapa ia berkata tidak? Mengapa ia mempermalukan dirinya seperti ini?
Heechul membungkuk lalu menegakkan badannya.
“Aku sungguh minta maaf kepada semua hadirin, terutama kepada keluarga Eun Hwa dan keluargaku, juga pada Eun Hwa. Aku sungguh tidak bisa meneruskan pernikahan ini. Sebenarnya aku.. tidak mencintai Eun Hwa. Aku sungguh tidak bisa meneruskannya. Maaf.”
“Keterlaluan!” ayah Heechul menghampiri kami dan menampar Heechul dengan keras. Aku sangat terkejut. Ini sungguh di luar dugaan. Mengapa jadi seperti ini? Kenapa Heechul melakukan hal ini?
“Kau tidak memikirkan perasaan Eun Hwa?! Berani-beraninya kau menghancurkan pernikahan ini! Kau..” ayah Heechul mulai limbung, para hadirin yang duduk di dekat kami langsung membantu memapahnya, begitu pula denganku.
Acara pernikahan pun batal begitu saja. Para tamu kecewa, ada beberapa yang mengumpat Heechul, berkata bahwa ia sungguh pria yang kejam.
Kami membawa ayah Heechul ke rumah sakit. Untungnya kondisi beliau masih stabil, hanya perlu beristirahat. Aku yang masih mengenakan gaun pengantin pun duduk di ruang tunggu rumah sakit. Heechul duduk di sebelah kami. Hanya ada kami berdua saat ini. Keluarga kami yang lain sebagian sudah pulang, sisanya sedang mengurus administrasi dan menjaga ayah di dalam kamar.
“Kenapa?” aku memulai pembicaraan.
“Apa?”
“Kenapa kau melakukan ini? Kau tidak memikirkan ayahmu? Kau tidak memikirkan dirimu sendiri? Kau sudah mempermalukan diri sendiri di gereja.”
“Aku tau ayahku akan kaget. Syukurlah ayah tidak apa-apa. Dan aku tidak peduli pada apa yang akan orang-orang katakan tentangku. Aku lebih memikirkan dirimu.”
“Kenapa denganku? Aku baik-baik saja.”
“Kau sungguh tidak baik-baik saja, Eun Hwa. Aku tau kau tidak menginginkan pernikahan ini.”
Aku memandang Heechul tidak percaya. Dia tau perasaanku?
“Sepanjang acara pernikahan, kau sama sekali tidak tersenyum. Mempelai mana yang sama sekali tidak tersenyum di acara pernikahannya sendiri? Bahkan jauh sebelum kita menikah, aku tau aku hanya bertepuk sebelah tangan. Tapi aku sungguh egois. Aku nekat melamarmu. Saat kau menerima lamaranku, aku sangat senang. Kupikir aku sudah bisa mengambil hatimu. Tapi kau tetap saja tidak pernah tersenyum bahagia saat bersamaku. Egoku juga tidak hilang, aku terus berusaha membuatmu tertawa dan bahagia. Tapi sampai hari ini pun, aku tidak pernah mendapat tempat di hatimu. Daripada aku melihatmu menderita seumur hidup, lebih baik aku melepaskanmu.”
“Kau.. tau?”
“Aku sangat mengenalmu lebih dari yang kau tahu, Eun Hwa. Aku juga tau kau mencintai Sungmin.”
“Apa?!” kali ini aku sungguh-sungguh terkejut.
Heechul tersenyum. “Sudahlah, kau tidak perlu lagi menutupinya. Aku tau semua perasaanmu. Kau mencintainya, benar kan?”
Aku menunduk. Lalu kemudian mengangguk.
“Si bodoh itu..” Heechul bergumam.
“Apa?”
“Ah tidak. Kau mau minum sesuatu? Biar aku belikan. Kau pasti lelah.”
Aku mengangguk lagi. Heechul pun pergi meninggalkanku sendirian di ruang tunggu.
“Eun Hwa!! Eun Hwa!” seseorang memanggilku.
Sungmin?? Seketika itu juga jantungku berdetak cepat. Kenapa Sungmin ada di sini? Sungmin duduk di sebelahku dan menatapku dengan khawatir.
“Kau tidak apa-apa?”
Aku tersenyum.
“Tidak apa-apa. Paman Kim baik-baik saja, aku jadi tenang.”
“Eh? Em.. Yah, syukurlah kalau begitu. Bagaimana denganmu? Kau tidak apa-apa?”
“Aku tidak apa-apa.”
“Benarkah? Pernikahan ini batal begitu saja. Kau pasti sangat sedih. Mana Heechul? Berani-beraninya dia membatalkan pernikahan ini!” gumamnya marah.
“Tidak perlu. Aku malah senang pernikahan ini batal.”
“A.. Apa?”
Aku menghela nafas panjang.
“Sebenarnya.. Bukan Heechul yang tidak mencintaiku. Aku yang tidak mencintainya. Dia melindungiku. Dia mempermalukan dirinya sendiri karena aku.”
“Apa?”
“Yah, aku memang menganggapnya kakak, tidak lebih. Dia baik sekali. Seandainya saja aku bisa mencintainya, mungkin hari ini adalah hari yang paling bahagia seumur hidupku.”
“Lalu.. Kenapa kau mau menikah dengannya? Maksudku.. Kenapa kau menerima lamarannya?”
Aku terdiam. Bagaimana aku harus menjawabnya? Haruskah aku berkata bahwa ini semua karena Sungmin? Karena aku sudah putus asa dengan hubungan kami?
“Ah maaf. Tidak apa-apa jika kau tidak mau menjawab.”
“Karena aku mencintai seseorang.” Kataku akhirnya. “Dan aku sudah putus asa dengan hubungan itu. Lalu tanpa pikir panjang aku menerima lamarannya.”
“Benarkah?”
Aku mengangguk.
“Lalu siapa pria yang kau cintai itu? Bodoh sekali dia tidak menembakmu. Kau ini cantik, pintar, dan menyenangkan. Hah, dia akan menyesal!”
Benarkah? Benarkah kau akan menyesal? Apakah kau termasuk bodoh jika tidak menembakku?” aku tersenyum pahit.
“Bagaimana kalau denganku saja?”
Aku menatapnya dengan tidak percaya. Apa katanya? Apa dia serius mengatakan hal itu? Apa dia sedang menembakku sekarang?
“A.. Apa?”
Sungmin tampak salah tingkah. Ia menggaruk-garuk kepalanya.
“Ehm.. Sebenarnya ini memang bukan waktu yang tepat. Tapi.. Kau lihat sendiri, aku juga tampan dan pintar. Aku pasti tidak kalah jauh dengan pria yang kau cintai itu kan?”
Aku terdiam. Apakah ini benar-benar terjadi?
“Ah, sudahlah, lupakan saja. Jangan serius begitu. Aku hanya bercanda, supaya kau terhibur. Tapi ternyata leluconku payah. Maaf ya sudah membuatmu terkejut..” Sungmin tersenyum.
“Ah, kau ini bodoh sekali!” aku sedikit membentak dan pergi meninggalkan Sungmin. Sebenarnya bukan Sungmin yang bodoh, tapi aku. Mengapa aku bisa saja mempercayai kata-katanya tadi? Sejak awal dia memang hanya menganggapku temannya, tidak lebih. Dasar bodoh!
***
Sejak kejadian hari itu aku tidak lagi mempedulikan Sungmin. Aku tau bahwa aku dan Sungmin akan tetap menjadi teman, selamanya akan begitu. Sedapat mungkin aku tidak berpapasan dengannya di kantor. Aku selalu menghindarinya. Jika memang sangat terpaksa harus berpapasan, aku hanya menyapa sekedarnya lalu buru-buru pergi. Perasaan ini harus segera dihilangkan, aku harus move on! Tidak boleh terus-terusan bersedih. Sungmin juga sepertinya tidak masalah dengan sikapku. Ia bahkan tidak berusaha mendekatiku. Aku sedikit kecewa tapi mungkin memang ini jalan terbaik. Sejak awal hubungan ini memang tidak mungkin ada kemajuan.
“Kau mau makan siang bersama?” suatu hari Sungmin menghampiri meja kerjaku. Aku sedikit terkejut dan senang tapi aku tetap berusaha tenang.
“Tidak. Aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku.”
“Mau sampai kapan kau seperti ini?”
“Seperti ini bagaimana?”
“Kau sudah lebih dari sebulan menghindariku. Apa aku punya salah padamu?”
“Tidak. Hanya perasaanmu saja.”
Sebenarnya akulah yang bersalah.” Kataku dalam hati.
“Baiklah. Tapi kau harus makan, jangan sampai sakit.”
“Bukan urusanmu. Aku bisa makan sendiri jika aku lapar.”
“Ikut aku.”
Sungmin menarik tanganku begitu saja.
“Hey, mau ke mana?”
Sungmin tidak menjawab, ia terus menarikku hingga keluar kantor, lalu berjalan menuju mobilnya. Ia membuka pintu penumpang dan menyuruhku masuk.
“Mau ke mana?”
“Masuk saja.”
Aku menggerutu kesal dan masuk ke dalam mobil. Sungmin membawaku ke sebuah restoran outdoor. Aku belum pernah ke sini sebelumnya. Restoran ini seperti sebuah taman, dengan meja yang disusun sedemikian rupa. Lalu di tengah-tengah taman terdapat kolam dengan sebuah air mancur di tengahnya. Romantis sekali tempat ini, mungkin khusus dibangun untuk pasangan yang ingin berkencan.
“Ini restoran kesukaanku. Biasanya aku ke sini sendirian. Baru kali ini aku mengajak seorang teman ke sini.”
Teman..” aku mengulangi perkataannya dalam hati.
“Pesan saja apa yang kau suka. Aku traktir.”
“Sudah kubilang aku tidak lapar. Dan aku bisa membayar sendiri.”
“Kau ini sebenarnya ada apa? Kau marah padaku?”
“Tidak. Kenapa aku harus marah?”
“Itulah yang ingin kutanyakan. Kau terus menghindariku. Sebenarnya apa salahku?”
“Kau tidak punya salah.”
“Lalu mengapa kau bersikap seperti ini? Kalau kau ada masalah, ceritakan padaku.”
“Memangnya kau ini siapa? Apa pedulimu terhadap masalahku?”
“Kita ini teman, kan? Aku bisa membantumu jika kau memang ada masalah.”
“Aku tidak punya masalah, dan kalaupun ada, aku tidak harus mengatakannya padamu. Ya, kita ini teman, kita HANYA teman biasa. Mengapa kau begitu peduli padaku?!”
“Karena aku menyukaimu!”
Aku terdiam.
“A.. Apa?”
“Aku menyukaimu. Aku.. Mencintaimu..”
“Kau tidak usah bercanda lagi. Kau tidak perlu menghiburku dengan lelucon payahmu itu. Aku tidak akan percaya lagi padamu!”
“Aku serius! Waktu itu di rumah sakit aku juga serius. Aku tau kau mencintai pria lain. Aku tidak mau membuatmu bingung, makanya aku pura-pura berkata bahwa aku hanya bercanda. Sungguh!”
Air mataku mulai mengalir. Benarkah ini semua? Benarkah Sungmin ternyata juga mencintaiku? Apakah ini hanya mimpi?
“Kau.. Kau ini bodoh sekali!!” aku meringis. Hatiku mulai berbunga-bunga saat ini.
“Kenapa kau selalu mengatakan aku bodoh? Waktu itu kau juga bilang aku bodoh.”
“Ya, kau memang bodoh! Kau tidak pernah menyadari perasaanku!”
“Maksudmu?”
“Bodoh! Pria yang aku cintai itu kau, Sungmin!”
“A.. Apa? Be.. Benarkah?” Sungmin meraih tanganku. Aku mengangguk dan tersenyum.
“Dasar bodoh!” kataku pelan sambil tertawa.
“Bodoh sekali aku ini. Ya, aku bodoh.”
“Kita berdua bodoh. Aku juga tidak pernah menyadari perasaanmu.”
Sungmin tampak salah tingkah.
“Tapi sekarang kita sudah mengetahui isi hati masing-masing.” Sungmin tersenyum. Senyuman yang selalu kusukai.
“Kau ini umur berapa? Kenapa manis sekali sih? Aku jadi terlihat lebih tua darimu.” Kataku dengan wajah cemberut.
“Kau ini! Aku ini memang terlahir dengan baby face. Makanya kau bisa menyukaiku.”
Aku mendecak sebal.
“Jangan marah.. Kau juga manis, sungguh. Pria manis sepertiku pasti juga menyukai wanita yang manis sepertimu.”
Ya! Kau ini gombal sekali!”
“Sungguh!”
“Ah, sudahlah. Ayo kita pesan makan saja. Aku lapar!” kataku mengalihkan pembicaraan.
Sungmin tersenyum melihatku yang salah tingkah.
“Kenapa kau senyum-senyum begitu? Ayo pesan!”
“Eun Hwa.. Saranghae..”
“Aish, cepat pesan!” aku menunduk malu dan pura-pura memilih makanan, sedangkan Sungmin masih saja tersenyum lebar menatapku. Sungmin memang selalu bisa membuatku berdebar-debar seperti ini. Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan bagiku.
Saranghaeyo, Sungmin oppa..” kataku dalam hati.

***

No comments:

Post a Comment