Sekolah SMA Bunda Kasih sudah
terlihat sepi. Langit memang sudah mulai gelap. Lapangan parkir sudah lengang,
hanya tersisa 3 mobil yang terparkir manis, menunggu sang pemilik datang dan
membawanya pulang ke rumah. Namun di parkiran tidak hanya mobil saja yang
terparkir manis. Seorang siswi SMA yang pastinya adalah murid sekolah itu
tampak duduk manis di bangku yang terletak di pinggir lapangan. Sambil sesekali
melihat jam tangannya dan melihat ke dalam gedung sekolah, seakan sedang
menunggu seseorang.
Sementara itu dari kejauhan, tampak
segerombol siswa yang sedang melangkah menuju gerbang depan sekolah sambil
tertawa dan bercanda ria. Siswi yang sedari tadi menunggu pun mulai memasang
senyum gembira. Ia mengambil tas di sampingnya dan menyampirkannya ke bahu lalu
berdiri. Gerombolan siswa itu mulai mendekat.
“Hai, Dew.. Setia nih ye nunggu
Yayang Adit.” Celetuk salah satu dari gerombolan itu. Yang diajak bicara hanya
tersenyum ramah. Kemudian seorang siswa yang tak lain adalah Adit, mendahului
langkah teman-temannya dan menghampiri siswi tersebut yang ternyata bernama
Dewi, diiringi siulan teman-temannya.
“Kok belum pulang, Dew? Kan aku
udah bilang pulang duluan aja, udah sore begini.”
Sekali lagi Dewi tersenyum manis.
“Gak apa-apa kok. Aku cuma mau nunggu kamu aja. Biar bisa pulang bareng. Boleh
kan?”
Adit tersenyum simpul, seperti
senyum yang agak dipaksa. “Tentu boleh. Tapi kan aku gak enak sama kamu. Aku
rapat sampai sore begini. Lain kali gak usah nunggu ya kalau aku rapat. Aku gak
mau kamu kecapean.”
Dewi lagi-lagi tersenyum, kali ini
dengan ekspresi malu-malu senang. Ternyata Adit begitu memperhatikannya.
“Duluan ya, Dit, Dew, jangan
kelamaan pacaran, nanti dicariin Mama.” Lagi-lagi celetukan salah satu siswa
terdengar diiringi tawa semua gerombolan itu. Adit dan Dewi hanya melambaikan
tangan dan berpaling lagi pada Dewi.
“Iya deh, cuma sekali ini aja kok
aku nungguin kamu. Makasih ya udah perhatian sama aku.”
“Yuk pulang.” Adit perlahan
menggandeng tangan Dewi. Dewi sendiri terkejut sesaat namun kemudian tersenyum
senang. Pipinya merona merah. Ia merasa ingin selamanya menggandeng tangan
Adit.
Adit dan Dewi. Baru kemarin mereka
jadian. Dewi adalah siswi kelas satu SMA yang kelasnya bersebelahan dengan
kelas Adit yang ternyata sudah menginjak kelas tiga SMA. Dewi mulai menyukai
Adit saat MOS berlangsung. Adit adalah kakak pembimbing di kelasnya. Adit
berbeda dengan kakak kelas yang lain. Adit baik, tidak pernah marah apalagi
membentak juniornya, sabar, dan bersahabat. Bila ada yang melanggar aturan,
Adit hanya memberinya sedikit teguran dan hukuman yang ringan. Dewi menyukai
senyuman Adit yang mempesona, yang mampu membuatnya ikut tersenyum.
Dewi tetap menyukai Adit walaupun
MOS telah berakhir. Banyak siswa baru yang berwajah tampan di kelasnya, namun
tak satupun yang mampu menggantikan Adit di mata Dewi. Baginya, Adit-lah sosok
yang paling sempurna, lagipula Adit adalah kakak kelasnya, pastinya lebih
dewasa dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya. Diam-diam Dewi sering
memperhatikan Adit. Dewi selalu menunggu Adit lewat di depan kelasnya saat
istirahat tiba hanya untuk memandang wajahnya. Dewi pun tak segan-segan
mengikuti Adit diam-diam ke kantin dan mencari tau makanan apa yang dibeli Adit
di sana. Dewi sendiri pura-pura membeli minuman dan duduk di belakang meja yang
Adit untuk menikmati pemandangan indah di hadapannya, walaupun yang terlihat
hanya punggungnya saja yang sesekali bergetar karena tawa yang ia keluarkan
bersama teman-temannya. Dewi sampai hafal kebiasaan Adit, keluar kelas lima
menit setelah bel istirahat berbunyi, ke kantin, lalu membeli semangkuk soto
ayam juga jus tomat. Dewi mulai menyukai jus tomat sejak saat itu.
“Cewek di belakang kayaknya
ngeliatin lo mulu, Dit.” Kata teman Adit yang sedang makan di kantin bersama
Adit suatu hari. Dewi hampir tersedak mendengarnya dan berpura-pura sibuk
dengan HP-nya dan menikmati jus tomat di hadapannya. Adit menoleh, membuat
jantung Dewi semakin berdebar tidak keruan. Itu pertama kalinya Adit
memandangnya. Dewi senang tapi pura-pura tidak tau. Begitu Adit kembali pada
posisinya, Dewi menarik nafas lega lalu dengan cepat minggat dari tempat itu.
Lalu entah ada angin apa, suatu
hari saat pulang sekolah, Dewi yang sedang melangkah keluar gedung sekolah
melihat sosok Adit dari kejauhan sedang berdiri bersandar pada pos satpam.
Tangannya dimasukkan ke dalam saku dan ia menatap sepatunya dengan ekspresi
datar. Dewi terpesona dengan gaya Adit yang seperti itu. Ingin sekali ia
mengeluarkan ponselnya dan memotret, mengabadikan gaya Adit itu. Dewi pun
dengan gugup terus berjalan. Ia pura-pura tidak melihat Adit ada di sana. Lalu
saat sudah mendekati Adit, Dewi mempercepat langkahnya dan menatap lurus ke
depan. Ia pun berhasil melewati Adit dan bernafas lega.
“Dewi!” Kelegaan Dewi musnah.
Jantungnya mulai berdebar lagi, kali ini jauh lebih kencang. Apa ia tidak salah
dengar? Bukankah itu suara Adit? Adit memanggilnya? Ah, tidak mungkin, pikir
Dewi. Pasti ada salah satu temannya yang suaranya mirip dengan Adit. Dengan
gugup Dewi menoleh, mencari temannya yang mungkin memanggilnya tadi.
“Hei, aku yang memanggilmu.” Adit
berkata, membuat Dewi ingin pingsan. Adit memanggilnya? Adit tau namanya? Tak
urung Dewi merasa sangat senang. Tapi ia masih ingin jual mahal, malu kan kalau
ternyata bukan ia yang dimaksud? Dewi menoleh ke belakang, memastikan bahwa
memang dirinyalah yang dipanggil.
“Iya, kamu. Hanya satu Dewi yang
aku kenal.” Kata Adit. Dewi pun tersenyum ramah, walau dalam hatinya ia ingin
tersenyum lebih lebar. Dewi pun menghampiri Adit, tak mampu menyembunyikan kegugupannya.
“Kak.. Kak Adit manggil saya? Ada
apa?”
“Pulang bareng yuk.” Kata Adit
enteng.
WHAT?! Pulang bareng? Mimpi apa
Dewi semalam? Ia bisa mendapat durian runtuh hari ini. Adit mengajaknya pulang
bersama? Kok bisa? Adit mengenalnya?
“Tapi..” Dewi masih berusaha
menjaga gengsi.
“Ayolah. Jarang-jarang nih aku
ngajak cewe pulang bareng.”
Dewi tersenyum sumringah. “Boleh
deh.” Katanya dengan nada yang dipelankan supaya tidak terdengar begitu
gembira.
Adit pun mengantar Dewi ke mobilnya
dan mengantar Dewi pulang. Banyak yang mereka bicarakan di dalam mobil, namun
hanya sekedar obrolan biasa antara sesama murid SMA Bunda Kasih, pelajaran di
sekolah, guru yang menyebalkan dan mengasyikkan, teman-teman yang rese, sampai
kegiatan ekstrakulikuler. Dari situ Dewi tau ternyata Adit ikut ekskul basket,
tapi sejak kelas tiga SMA, Adit sudah undur diri karena begitulah peraturan
dari sekolah mereka.
“Sudah sampai.” Kata Adit begitu
mereka sampai di depan rumah Dewi.
“Terima kasih ya, Kak.” Dengan
berat hati Dewi membuka pintu mobil.
“Dewi..” Adit memanggilnya lagi.
Dewi menghentikan gerakannya dan menoleh pada Adit. “Besok aku jemput, boleh?”
Bagai ditaburi bunga-bunga dalam
hatinya, Dewi semakin tidak percaya dengan omongan Adit barusan. Namun dengan
cepat Dewi mengangguk.
“Thanks ya. Kamu asyik diajak
ngobrol. Aku suka.”
SUKA?! Apa artinya kalimat terakhir
Adit itu? Sebuah pernyataan kah? Adit menyukainya? Tapi Dewi tak ingin
cepat-cepat mengambil kesimpulan dan terlalu gembira. Mungkin saja yang
dimaksud Adit adalah ia menyukai sifat Dewi yang enak diajak ngobrol, bukan
menyukai dirinya dalam arti yang lebih jauh. Dewi pun hanya tersenyum kecil dan
keluar dari mobil, lalu menunggu mobil Adit melaju dan menghilang di belokan.
***
“Aku suka padamu.” Kalimat itu
terlontar dengan mudahnya dari mulut Adit, seakan Adit sudah berpengalaman
dalam mengungkapkan isi hatinya. Dewi yang mendengar hal itu langsung bengong
dan tidak jadi menyuapi nasi goreng yang tinggal setengah senti lagi dari
mulutnya.
“Aku suka padamu, Dewi.” Adit
mengucapkannya lagi karena ia tidak mendapat respon dari Dewi. Dewi masih saja
diam. Lalu sendok di tangannya jatuh begitu saja, membuat Adit terkejut, begitu
pula Dewi.
“Eh, sori..” Dewi membereskan nasi
yang terlempar keluar piring dengan tisu. “Kau bilang apa? Suka? Sama aku?”
Dewi salah tingkah, masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Ya, aku suka. Kau menyukaiku kan?”
“Kau.. Kau tau?”
“Terlihat jelas, Dewi. Aku
menyukaimu. Aku menyukai tingkahmu yang malu-malu itu. Tapi aku juga menyukaimu
saat kau bersikap apa adanya, tidak ditutup-tutupi dengan gengsi. Aku suka.”
Seketika itu juga wajah Dewi
memerah. Segitu jelaskah sikapnya selama ini?
“Kau mau jadi pacarku?”
Dewi mengangguk sambil menunduk
malu. Akhirnya ia dan Adit berpacaran. Dewi tidak menyangka cintanya kali ini
akan terbalas.
***
Dewi menunggu di depan kelas Adit.
Sudah lima belas menit setelah pulang sekolah, tapi kelas Adit belum juga
bubar. Mungkin karena guru Sejarah tersebut masih betah memberikan
pengetahuannya kepada murid-murid. Dewi mengintip sedikit, dilihatnya Adit
tengah menguap. Lucunya! Tanpa sadar Dewi tersenyum.
Akhirnya lima menit kemudian guru
Sejarah itu membubarkan kelas. Seisi kelas langsung berhamburan keluar. Dewi
melihat Adit masih membereskan bukunya saat kelas itu sudah hampir kosong. Dewi
masuk ke dalam kelas dan menghampiri Adit.
“Hai, Dit.” Dewi menyapanya dengan
ceria.
Adit menoleh dan sedikit terkejut
dengan kedatangan Dewi. Sempat ia melirik teman-temannya di meja belakang lalu
tersenyum pada Dewi. Dewi ikut melirik ke arah teman-teman Adit. Ada tiga orang
siswi perempuan di meja belakang, mungkin satu geng, karena mereka terlihat
kompak dengan gaya nyentriknya. Salah satu siswi itu menatap Dewi dan tersenyum
memaksa, Dewi membalasnya. Sedangkan yang lainnya menatap Dewi dengan sinis,
begitulah yang Dewi rasakan. Mungkin mereka sebal karena ada adik kelas yang
masuk kelas senior seenaknya. Tapi Dewi tidak terlalu peduli.
“Pulang bareng?” Adit bertanya yang
langsung disusul dengan anggukan manis oleh Dewi. Adit pun menyelesaikan
beres-beresnya dan merangkul Dewi sambil mengajaknya keluar kelas. Ini
perkembangan yang drastis. Adit merangkulnya! Dewi senang. Ia tidak bisa
berhenti tersenyum.
***
Tidak seperti pasangan lain, Adit
tidak pernah menelepon Dewi. Biasanya pasangan yang baru saja jadian akan
saling menelepon setiap malam hingga berjam-jam. Ini sudah hari keempat, tapi
Adit belum juga mulai menelepon. Padahal Dewi sudah kangen berat sama Adit. Di
sekolah ia hanya bisa bertemu dengan Adit di jam istirahat dan pulang sekolah.
Akhirnya karena tidak bisa lagi menahan rasa rindunya, Dewi mengambil
inisiatif. Ia akan menelepon duluan, tidak peduli bila Adit akan menganggapnya
agresif.
“Halo, Dew, kenapa?”
“Hai, Dit. Lagi sibuk?”
“Hm.. Lumayan. Kenapa?”
“Aku kangen.”
“Oh.” Hanya itu resppon Adit. Dewi agak kecewa.
“Kau tidak kangen padaku?”
“Iya, aku juga kangen.”
Diam. Adit terdengar canggung di
telepon. Bukan Adit yang ceria seperti di sekolah. Apa benar Adit kangen
padanya?
“Kau sibuk ya. Kalau begitu maaf aku
mengganggu. Aku tutup teleponnya ya. Sampai jumpa besok.”
“Ya. Bye.”
Telepon terputus. Ada rasa sedih
dan kecewa yang dalam di hati Dewi. Benar-benar percakapan yang singkat dan tak
berarti. Dewi menaruh ponselnya di meja dan membenamkan wajahnya di atas
bantal. Hatinya mulai tak tenang. Seperti ada sesuatu yang mengganggu.
***
“Mantannya Adit?” Dewi terkejut
mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh teman sebangkunya, Sarah.
“Iya, kau kenal dia tidak?”
“Aku saja tidak tau Adit punya
mantan pacar. Anak mana?”
“Anak sini! Sekelas dengan Adit.”
“SEKELAS???!!!”
“Yap. Kakakku kan juga sekelas
dengan Adit. Aku tau dari dia. Katanya dia baru putus dengan Adit sebulan yang
lalu.”
“SEBULAN? Kau yakin? Tapi..”
“Aku tau, Dew, kau dan Adit baru
jadian lima hari yang lalu. Itu berarti Adit menyatakan perasaannya padamu 1
bulan setelah dia putus. Hmm.. Maaf sebelumnya, Dew, tapi.. Apa kau tidak
merasa aneh?”
“Maksudmu? Kau ingin bilang kalau
aku ini hanya pelarian?”
“Hm.. Bukan begitu, hanya saja…”
“Stop, Sarah. Aku tidak ingin
mendengar omonganmu. Aku percaya pada Adit. Adit bukan orang seperti itu. Aku
bisa melihatnya.”
Sarah hanya bisa diam dan tidak
berkomentar apa-apa. Tapi ia yakin firasatnya benar.
***
“Dewi!” Adit memanggil Dewi dan
menghampirinya.
“Adit? Hai..”
“Kau tidak menungguku di depan
kelas?”
“Eh? Iya, kupikir ingin langsung
pulang saja karena kau bilang ada rapat.”
“Oh, kau mau pulang? Kau sudah
makan?”
“Sudah. Kau?”
“Aku juga. Kalau memang kau mau
pulang, hati-hati ya.”
Adit membelai rambut Dewi dengan
sayang. Dewi tersenyum. Ia bahagia. Semua yang dikatakan Sarah salah. Adit
begitu menyayangi Dewi. Ia tak mungkin menjadikan Dewi sebagai pelarian.
Buktinya, Adit terlihat kecewa saat Dewi tidak menunggunya di depan kelas, juga
sikap-sikap Adit yang perhatian pada Dewi seperti saat ini. Dewi yakin Adit
benar-benar mencintainya.
“Ya. Kau juga jangan sampai
kelelahan, banyak minum dan jangan terlambat makan. Aku tidak ingin kau sakit.”
“Iya, Sayang. Makasih ya.”
Tuh kan! Adit memanggilnya sayang!
Adit dan Dewi pun berpisah. Dewi
melangkah keluar gerbang dengan senyum mengembang.
“Dewi!” seorang siswi memanggilnya.
Dewi menoleh. Dilihatnya seorang siswi berjalan ke arahnya tanpa ekspresi. Dewi
mengernyitkan dahinya. Ia tidak mengenal gadis itu. Eh tapi.. Sepertinya
wajahnya pernah dilihat Dewi. Di mana ya? Dewi terus mengingat dan akhirnya ia
ingat bahwa gadis itu adalah teman sekelas Adit yang waktu itu tersenyum
padanya saat ia masuk ke kelas Adit.
“Ya?” Dewi agak takut menjawabnya.
Jangan-jangan ia akan dilabrak karena waktu itu berani masuk ke kelas senior.
Atau jangan-jangan gadis ini adalah salah satu penggemar Adit. Gawat!
“Kau Dewi kan?” Dewi mengangguk.
“Aku ingin bicara. Bisa?” Dewi mengangguk lagi. Gadis itu lalu berjalan
mendahului Dewi, Dewi mengikutinya dan sampailah mereka di halaman belakang
sekolah dan duduk di salah satu bangku. Diam sejenak.
“Kau mengenalku?” gadis itu
bertanya. Dewi menggeleng cepat.
“Tapi aku tau kakak sekelas dengan
Adit.”
“Aku mantan pacar Adit.” Tanpa
basa-basi gadis itu berbicara. “Namaku Clara.”
Oh, Tuhan! Mantan pacar Adit?!
“Y.. Ya.. Aku.. Pernah
mendengarnya.”
“Aku baru putus dengan Adit sebulan
yang lalu.” Dewi tidak terkejut karena sudah mendengarnya dari Sarah. Namun
yang ia takutkan, apakah Clara akan menyuruhnya menjauhi Adit seperti di
film-film?
“Aku senang Adit sudah memiliki
pacar baru. Selamat ya. Kau beruntung mendapatkannya.” Dewi tersenyum. Ternyata
Clara adalah orang yang baik. “Dia pasti sangat memperhatikanmu, meneleponmu
setiap malam dan memberikan kejutan-kejutan kecil setiap hari. Juga selalu
menomorsatukan dirimu dibanding tugas-tugas sekolah. Dasar bodoh si Adit itu.”
Clara tersenyum pahit.
Dewi menggeleng. “Tidak. Ia tidak
pernah menelepon dan memberiku kejutan kecil. Yah.. Mungkin baru awal pacaran,
jadi dia masih malu.”
“Benarkah?!” Clara terlihat sangat
terkejut. “Itu tidak mungkin. Dulu saat kami baru pacaran, dia sudah
memperlakukanku seperti itu. Katanya ia pasti akan melakukan hal itu kalau ia
memang benar-benar mencintai seseorang.”
Dewi terkejut. Benarkah yang
dikatakan Clara? Kalau begitu apakah mungkin…
“Maaf, Dew, aku tidak bermaksud..”
“Tidak apa-apa.” Dewi berusaha
terlihat tenang. Tapi matanya mulai berkaca-kaca. “Apa aku boleh tau kenapa
kalian putus?” Entah mengapa Dewi ingin mengetahuinya. Ia sedikit menyesal
karena jawaban Clara mungkin akan menyakitinya, tapi Dewi tidak peduli, ia
ingin tau kebenarannya.
Diam sejenak.
“Aku mencintai Adit.” Clara mulai
bercerita. “Hm.. Aku memberitaumu bukan karena aku ingin kau menjauhinya.” Dewi
mengangguk mengerti. “Kami berpisah karena ada kesalahpahaman. Waktu itu aku
bertemu dengan mantan pacarku, maksudku.. sebelum Adit. Kami bertemu dan
berbincang-bincang banyak karena sudah lama tidak bertemu. Tapi saat kami akan
berpisah, mantanku mengatakan bahwa ia masih mencintaiku dan ingin aku kembali.
Lalu ia mencium keningku.” Mata Clara mulai berkaca-kaca. “Sialnya Adit melihat
itu semua. Ia pergi dan mendiamkanku selama berhari-hari. Aku sama sekali tidak
diberi kesempatan untuk menjelaskan. Tiba-tiba saja sebulan yang lalu ia
mendatangiku dan menyatakan ingin berpisah. Adit lagi-lagi tidak mau mendengar
ketika aku ingin menjelaskannya. Jadi aku hanya bisa menerima keputusannya.”
“Aku senang Adit telah menemukan
seseorang yang ia cintai sekarang. Aku harap kau dan Adit bisa terus bersama.
Kalau Adit bahagia, aku juga akan tenang. Kulihat tadi kalian sangat mesra.
Adit pasti sangat menyayangimu.” Clara melanjutkan. Dewi tertegun, seperti baru
saja disiram air dingin. Ia sedih, kecewa, dan marah. Kini sepertinya ia mulai
mengerti situasinya. Mungkinkah tadi Adit tau bahwa ada Clara di dekat mereka?
Jadi ia sengaja bersikap mesra pada Dewi. Lagipula saat Dewi mendatangi Adit di
kelas, Adit seperti terkejut dan melirik ke arah Clara. Ya, tidak salah lagi! Sarah
benar, Dewi mungkin hanya dijadikan pelarian, dan hanya ada satu cara untuk
membuktikannya.
“Kak, aku permisi dulu. Aku
buru-buru.” Dewi langsung pergi meninggalkan Clara. Ia sudah tidak sanggup
menahan air matanya. Ia berlari keluar sekolah sambil menangis. Tapi Dewi bukan
pulang ke rumah, ia pergi ke rumah Adit. Beberapa hari yang lalu ia pernah
menanyakan alamat rumah Adit dan ia langsung mengetahui di mana rumah Adit.
Tentu saja Adit tidak ada di rumah. Dewi pun memutuskan untuk menunggunya di
depan rumah Adit, duduk di trotoar pinggir jalan. Dewi memeluk kakinya dan
membenamkan wajahnya ke lutut. Ia menangis di sana.
Menjelang sore, Dewi menghapus air
matanya, menatap wajahnya di cermin dan memperbaiki penampilannya yang
berantakan karena menangis tadi.
Beberapa saat kemudian dari
kejauhan Adit datang. Dewi langsung berdiri dan tersenyum menyambut kedatangan
Adit. Adit terkejut dan mempercepat langkahnya mendekati Dewi.“Dewi? Kenapa kau
ke sini?”
“Hai, Dit. Aku kangen. Makanya aku
ke sini.”
“Sudah sore, Dew, sebaiknya kau
pulang.”
“Pulang? Aku ingin mengobrol dulu
denganmu. Boleh ya?” Dewi bersikap manja.
“Aku masih banyak tugas, Dew,
sebentar lagi ujian.”
“Sebentar saja, Dit.”
“Kau ini kenapa sih? Aku sibuk,
Dew, aku harus segera menyelesaikan tugasku. Kau pulang ya, sudah mulai gelap.”
“Ok, aku pulang. Tapi nanti malam
telepon aku ya.”
“Aku tidak bisa, Dew.”
“Kenapa?! Kau tidak mencintaiku?”
Dewi mulai emosi.
“Kau ini bicara apa?”
“Aku bicara tentang kebenaran. Kau
tidak mencintaiku kan? Kau hanya menjadikanku pelarian dari kak Clara kan?”
“Clara? Clara cuma masa laluku. Kau
tidak usah membahasnya.”
“Ini harus kita bahas, Dit. Aku
sudah tau semuanya. Selama ini kau sengaja memperlakukanku dengan mesra di
depan kak Clara, tapi setelah itu kau berubah. Seperti sekarang ini.”
“Aku sudah bilang aku sibuk, Dew.
Tidak ada hubungannya dengan Clara.”
“Tentu saja ada. Dit, aku mau kau
jujur. Tadi aku bertemu dengan kak Clara.”
Adit terkejut dan langsung pucat.
“Kalian baru putus sebulan yang
lalu kan? Secepat itukah hatimu berpindah padaku?”
Adit masih diam.
“Kak Clara bilang, sejak awal
pacaran, kau selalu meneleponnya setiap malam, memberinya kejutan kecil hampir
setiap hari. Juga menomorsatukan kak Clara dibanding tugas-tugas sekolahmu.
Tapi aku tidak mendapatkan itu semua, Dit. Kenapa? Kau tidak mencintaiku kan?
Jujur, Dit.” Dewi menangis lagi.
“Maaf, Dew. Aku memang orang jahat.
Aku tidak sebaik yang kau kira. Aku tidak pantas kau banggakan dalam hatimu.
Aku tidak pantas untuk gadis sebaik dirimu.”
“Kembalilah pada kak Clara.” Adit
terkejut mendengar ucapan Dewi. “Yang terjadi di antara kalian hanya
kesalahpahaman. Aku tau kalian masih saling mencintai. Beri dia kesempatan
untuk menjelaskan semuanya. Kak Clara orang baik, ia tidak seburuk yang kau
pikirkan.”
“Tapi kau..”
“Aku tidak apa-apa. Jangan
pedulikan aku. Terima kasih, Dit, atas semuanya.” Dewi pun melangkah pergi
meninggalkan Adit yang masih terdiam. Dewi masih berharap Adit akan
mengejarnya, memeluknya, dan berkata bahwa ia mencintai Dewi. Tapi Dewi tau itu
tidak akan mungkin. Adit mencintai Clara. Itulah kenyataannya.
***
Dewi tersenyum. Ia melihat Adit dan
Clara sedang berpelukan di halaman belakang sekolah. Ternyata mereka sudah
baikan. Belum pernah Dewi merasa selega ini. Walaupun ia masih sedih, tapi ia
tidak ingin menangis lagi, sudah cukup semalam ia membasahi bantalnya dengan
air mata. Kenangan tujuh hari bersama Adit akan selalu tersimpan dalam hatinya.
SELESAI