Wednesday, August 6, 2014

It’s so Scary Loving You Like This

Type: Song fiction
Original Song: Freya Lim – Zhe Yang Ai Ni Hao Ke Pa
 --------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Perkenalkan, ini Winda, pacarku.”
Ini kali pertama aku bertemu dengan Toni setelah 2 tahun yang lalu hubungan kami berakhir. Aku tahu dia sudah pulang dari Amerika 3 bulan yang lalu. Tapi aku sungguh tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini. Melihatnya di restoran ini bersama seorang wanita cantik, membuatku terus saja berdoa semoga wanita tersebut bukan pacar barunya. Tapi ternyata apa yang tak ingin kudengar, justru dengan jelas terucap dari bibir Toni sendiri. Aku mulai menyesal mengapa aku tidak langsung kabur begitu melihat Toni juga berada di restoran ini. Mengapa otak dan kakiku tidak sejalan? Mengapa kakiku tidak bergerak sampai pada akhirnya Toni melihatku dan menghampiriku, kemudian memperkenalkan wanita tersebut padaku? Dan mengapa pula dari sekian banyak restoran yang ada di kota ini, Toni harus datang ke restoran yang sama denganku? Padahal selama ini aku sudah berusaha untuk tidak lagi mendatangi tempat manapun yang bisa mengingatkanku pada dirinya.
“Winda.” Wanita itu mengulurkan tangannya padaku.
Bodoh! Di saat seperti ini aku hanya bisa terdiam. Tersenyum pun tak bisa, apalagi membalas uluran tangannya. Mataku mulai berkaca-kaca. Oh, Tuhan! Jangan biarkan aku menangis di sini. Setidaknya jangan di depan Toni dan pacar barunya ini.
“Cindy? Kau kenapa? Kau baik-baik saja?” Toni menatapku dengan khawatir karena aku masih belum merespon uluran tangan Winda. Saat itu pula aku tersadar dan segera mengulurkan tangan, plus senyuman yang kupaksakan.
“Cindy.” Kataku sambil menjabat tangan Winda selama sepersekian detik.
“Ah, kebetulan kita bertemu. Kau sendirian? Mau bergabung dengan kami?” Toni menawarkan, membuatku seketika menjadi panik.
“Oh, tidak usah. Aku janjian dengan teman-temanku kok. Aku tidak mau mengganggu kencan kalian.” Kataku dengan sedikit kerlingan di mata. WOW! Sungguh akting yang sangat bagus! Aku sendiri tidak tahu dari mana bakatku ini. Mungkin aku cocok juga menjadi artis!
“Baiklah. Kalau begitu kami ke sana dulu.” Kata Toni yang diikuti oleh senyuman manis Winda.
“Ya, silahkan.”
“Senang bertemu denganmu.” Kata Winda.
“Aku juga.”
Ah, sekarang aku tidak bisa kabur lagi! Aku sudah terlanjur mengatakan bahwa aku ada janji dengan teman-temanku di sini. Tidak lucu jika aku langsung keluar dari restoran ini. Sebenarnya aku datang ke sini sendirian, berencana untuk menenangkan pikiran dari pekerjaan yang menumpuk, ditambah dengan pikiran-pikiran mengenai Toni yang masih saja berputar di kepalaku selama 3 tahun ini. Sialnya, aku malah bertemu dengannya di sini!
Aku melangkahkan kakiku menuju meja yang paling jauh dari meja Toni dan Winda, lalu mendaratkan pantatku dengan sedikit keras. Sekarang nafsu makanku sudah hilang. Aku pun memanggil pelayan dan hanya memesan segelas teh manis hangat.
Sembari menunggu pesanan, aku tidak bisa menahan pandanganku dari Toni dan Winda. Mereka sedang berbincang dengan asyiknya, sambil beberapa kali tertawa. Hatiku masih saja sakit melihat kelakuan mereka.
Cindy, kau kenapa?” pertanyaan Toni tadi masih terngiang di pikiranku. Kenapa katanya? Apa perlu ia bertanya seperti itu? Apa dia tidak melihat mataku yang sudah berkaca-kaca dan kelakuan bodohku yang lama terdiam saat ia mengenalkan pacar barunya? Bukankah dulu dia bilang, dia yang paling mengerti diriku? Lalu kenapa sekarang dia harus bertanya seperti itu? Apa dia mau mempermalukan aku di depan Winda? Apa dia merasa menang sekarang? Dasar Toni bodoh!
Hah, aku jadi teringat lagi saat-saat kami akan berpisah.


Tiga tahun yang lalu…

“Kita putus saja.” Akhirnya setelah aku memantapkan hatiku, kalimat itu terucap.
“Apa?” Toni menatapku dengan pandangan tidak percaya. “Kenapa?”
“Kau masih tanya kenapa? Toni, kau tahu aku selalu ingin berada di sampingmu, tapi.. Kau akan ke Amerika. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku tanpa dirimu.”
“Tapi.. Kita kan masih bisa berkomunikasi lewat internet.”
“Aku tidak bisa, Toni. Terlalu lama. Kau memilih untuk pergi. Aku tidak ingin menahanmu di sini, kau harus menggapai impianmu. Aku membebaskanmu. Pergilah. Jangan hiraukan aku.”
“Cindy..” Toni menatapku dengan pandangan memohon, tapi aku segera mengangkat tanganku.
“Sudahlah. Kita akhiri saja semua ini.”
Keheningan melanda kami selama beberapa saat sebelum akhirnya Toni menghela nafasnya dan bertanya, “Kau serius?”
Butuh waktu untuk menjawab pertanyaan itu. Apa aku serius? Kalau boleh jujur, aku juga tidak ingin mengakhiri hubungan ini. Aku mencintai Toni. Tapi aku tidak akan bisa hidup tanpa dia di sampingku. Aku terlalu mengandalkannya. Dengan pilihan Toni untuk berangkat ke Amerika, akhirnya menyadarkanku bahwa tidak selamanya aku bisa bersandar padanya. Ada kalanya aku harus lepas, dan mungkin inilah saatnya. Aku harus mengandalkan diriku sendiri mulai saat ini. Aku tidak boleh menahan Toni. Biarkan ini menjadi keputusan yang terbaik.
“Ya.” Kataku selama jeda beberapa saat. “Kalau memang kita berjodoh, pasti akan bersatu kembali. Percayalah. Mungkin ini memang jalan terbaik. Kalau suatu hari nanti kau bertemu dengan seorang wanita, bukalah hatimu. Jangan pikirkan aku lagi. Oke?”
Toni menatapku dalam. Mungkin ia berharap aku menarik kembali ucapanku. Tapi itu tidak akan terjadi. Aku bukan orang yang bisa dengan mudahnya menarik ucapanku. Dan ucapanku ini sudah aku pikirkan dengan matang selama tiga malam.
“Baiklah. Kalau itu maumu.”
Di satu sisi aku lega karena semua ini berjalan sesuai dengan skenario di otakku. Tapi di sisi lain, ada bagian dari hatiku yang terasa sakit dan menyayat. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku ingin Toni bersikeras untuk tidak ingin berpisah denganku. Namun ini sudah menjadi keputusanku. Aku yang memutuskan dan hal itu tidak akan kuubah.

“Silahkan, Nona, teh hangatnya.” Segelas teh hangat yang dibawakan pelayan langsung membuyarkan lamunanku. Aku pun menyesap teh-ku beberapa teguk dan kembali memperhatikan Toni.
Kau baik-baik saja?” pertanyaan Toni tadi kembali terngiang. Aku tersenyum kecil.
Apa menurutmu aku baik-baik saja? Ya, aku akan baik-baik saja kalau ternyata pacar barumu itu tidak lebih baik dariku. Kau mungkin akan kembali mengingat kebersamaan kita. Aku akan baik-baik saja kalau kau dan pacar barumu itu ternyata tidak cocok dan mulai bertengkar. Setidaknya kau akan tahu bahwa hanya diriku yang pantas untukmu.
Aku yang dulu meminta berpisah, dan sekarang aku yang menyesal. Apalagi setelah melihat dirimu bisa dengan mudahnya mendapatkan pacar baru, sementara aku di sini masih terpaku dalam ingatan akan dirimu. Aku sadar aku memang egois. Sudah memutuskanmu secara sepihak dan sekarang ingin memilikimu kembali.
Apa jadinya jika orang-orang mengetahui pemikiranku ini? Mereka pasti menertawakanku. Lalu bagaimana dengan dirimu? Dengan caraku mencintaimu yang seperti ini, yang justru menginkan hubunganmu dan pacar barumu hancur berantakan, masihkan mungkin aku mendapatkan cintamu lagi?

Ah, ada apa dengan diriku ini? Caraku mencintaimu sungguh mengerikan!

No comments:

Post a Comment