Hai...
Ah, aku tidak perlu menanyakan kabarmu, tentu saja. Melihat postingan-mu di Instagram dan Facebook, aku tahu kau baik-baik saja di sana, dan bahagia bersama istrimu tercinta. Selamat atas pernikahamu. Maaf, aku baru mengucapkannya sekarang setelah sekitar satu tahun sejak hari itu. Yah, walaupun surat ini juga tak akan kau baca.
Aku ada di sana saat itu. Di pesta pernikahanmu, maksudku. Kau tampak bahagia. Dalam setelan tuxedo berwarna putih gading, kau terlihat jauh lebih tampan. Kapan terakhir kali aku melihat wajahmu secara langsung sebelumnya? Aku pun tak lagi ingat. Kita memang tinggal di pulau yang berbeda. Istrimu cantik saat itu. Tentu saja semua wanita akan terlihat cantik di hari bahagianya. Hm.. Oke, oke. Memang menurutku istrimu tidak cantik-cantik amat. Ayolah, pria setampan dirimu bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih cantik. Oh, tidak, tidak. Aku juga tidak cantik, jangan bandingkan dengan diriku. Aku juga tahu diri. Jika dibandingkan denganku, tentu saja istrimu jauh lebih cantik. Tapi... Yah, baiklah! Istrimu memang cantik! Dan ramah! Tidak, aku tidak cemburu. Aku tidak pantas cemburu.
Kepada cinta pertamaku,
Aku menulis surat ini bukan tanpa tujuan. Aku hanya ingin sedikit mengenang tentang kita berdua. Sebetulnya aku juga bingung apa yang bisa dikenang di antara kita. Kebersamaan kita terlampau singkat. Aku mengenalmu saat aku berusia... Kira-kira 4 atau 3 tahun atau bahkan sebelumnya. Sepertinya aku belum bersekolah saat itu, dan aku masih tinggal di pulau yang sama denganmu. Kau sering menginap di rumahku, bermain bersamaku, bahkan kau pernah tidur di kamarku. Aku selalu senang jika kau datang. Entahlah, kehadiranmu selalu membuat hatiku melonjak gembira. Kau yang baik hati, kau yang selalu menghiburku saat sedih, kau yang menemaniku di hari-hari pertamaku bersekolah, kau yang mengajakku ke lapangan basket untuk melihatmu bermain, dan kau juga yang sering berkata bahwa akulah kesayanganmu.
Aku tidak mengerti perasaan itu. Ayolah, yang benar saja? Seorang anak berusia 3 tahun memangnya bisa mengerti apa? Aku bahkan tidak tahu apakah aku pantas menyebutmu sebagai cinta pertamaku. Tapi bukankah perasaan bahagia atas kehadiranmu itu seharusnya bisa dikategorikan dengan cinta? Atau minimal rasa suka? Entahlah, aku sendiri bahkan tidak bisa menjawabnya.Ya, anggaplah itu hanya perasaan bahagia yang umumnya dimiliki oleh seorang anak kecil ketika diajak bermain oleh temannya, dan mustahil seorang anak berusia 3 tahun memiliki perasaan seperti itu. Tapi bagaimana jika kukatakan bahwa perasaan itu tetap ada hingga aku beranjak remaja?
Kita masih saling berkirim pesan di awal-awal kepindahanku ke Jakarta. Aku selalu tersenyum sendiri setiap kali membaca pesanmu. Bahkan saat kau sempat datang ke Jakarta dan menemuiku, aku merasa gugup dan berdebar-debar. Kau terlihat jauh lebih tampan dari kali terakhir aku melihatmu. Senyummu semakin menawan, suaramu menjadi berat, dan tubuhmu tegap layaknya pria dewasa.
Namun semakin aku terpesona padamu, semakin aku memaksa diriku untuk berhenti. Biar bagaimanapun, kau dan aku tidak akan mungkin menjadi "kita". Kau dan aku akan memiliki kehidupan kita sendiri nantinya. Kata-katamu dulu bahwa aku adalah kesayanganmu pun pada akhirnya tak akan bermakna apa-apa. Hingga suatu hari setelah aku tahu kau akhirnya telah memiliki seseorang, aku benar-benar memutuskan untuk mengubur dalam-dalam perasaan itu.
Lalu di hari bahagiamu saat itu, aku senang melihat senyuman bahagiamu, dan aku bersungguh-sungguh saat mengatakan bahwa aku tidak cemburu karena perasaan itu memang tidak seharusnya kumiliki. Setelah dipikir-pikir, di antara kita mungkin memang banyak yang bisa dikenang, tapi kenangan itu cukuplah untuk diriku sendiri. Kau sudah bahagia dengan keluarga kecilmu, tidak perlu terbebani dengan perasaanku yang tidak penting. Aku hanya berharap suatu hari aku pun bisa bahagia sepertimu.
Aku tidak menyesal pernah menyukaimu karena dari dirimu-lah aku mengenal perasaan ini. Aku juga tidak akan ragu-ragu untuk menceritakan hal ini pada sahabat-sahabatku. Ketika mereka bertanya siapa cinta pertamaku, maka dengan bangga aku akan menjawab, "Kakak sepupuku."
***