Penulis: Ruwi Meita
Editor: Ry Azzura & Ario Sasongko
Proofreader: Funy D.R,W
Layout: Irene Yunita
Desain Sampul: Gita Mariana
Ilustrasi Sampul: Rudiyanto
Penerbit: Bukune
Cetakan Pertama: Agustus 2014
132 hlm; 13x19 cm
ISBN 602-220-135-7
Genre: Horror
CEKREEEK!
"Terlambat. Kamera tua itu sudah memotret kamu dan keluargamu. Tidak ada satu pun yang bisa selamat." Anak perempuan itu berbicara dengan tatapan kosong. Dia pergi dengan cepat, Anabel tidak bisa menemukannya.
Anabel tidak ingin percaya. Namun, keanehan demi keanehan terus menghampiri. Keluarganya melakukan kegiatan yang sama terus-menerus. Papa berkebun, Mama memasak, dan adiknya bermain trampolin; tanpa makan, mandi, atau tidur! Dan, ah... apa sebenarnya makhluk mengerikan yang dilihatnya itu? Dia menjerat leher keluarga Anabel dan mengambil jiwa mereka....
Kamera Pengisap Jiwa adalah novel Seri Takut dan karya Ruwi Meita pertama yang aku baca. Saat membaca judulnya, aku yang menyukai cerita misteri langsung tertarik dan sangat senang saat tahu pihak Bukune menggratiskan e-book ini di Play Store untuk jangka waktu tertentu. Aku jadi teringat dengan kakakku yang hobi memotret dan membayangkan bagaimana jadinya jika sebuah kamera dapat mengambil jiwa seseorang. Maka segeralah aku mengunduh e-book ini.
Seperti novel misteri pada umumnya, Kamera Pengisap Jiwa diawali dengan kehidupan sehari-hari sebuah keluarga dengan Anabel si anak sulung sebagai tokoh utama. Ia memiliki seorang adik perempuan bernama Sigi yang biasa dipanggil Bayi Sigi oleh Anabel ketika dia sedang kesal akan kelakuan adiknya. Sigi memang anak yang pecicilan, ia memiliki sifat yang ceria, cerewet, dan tidak bisa diam. Jalannya selalu melompat-lompat karena sejak dulu Sigi ingin sekali memiliki trampolin di rumahnya. Namun apa daya rumah mereka tidak cukup untuk menaruh sebuah trampolin.
Kebalikan dengan Sigi, Anabel cenderung lebih diam. Oleh karena itu ia kurang menyukai adiknya yang tidak bisa diam dan selalu mengganggunya. Anabel sangat suka membuat kartu ucapan. Ia sering membuatkannya kepada teman-temannya. Selain itu, Anabel juga suka memotret dan memiliki sebuah kamera polaroid kesayangan.
Suatu ketika ayah Anabel mendapat hadiah dari perusahaan tempatnya bekerja. Memang setiap tahun perusahaan tersebut selalu memberikan hadiah kepada para karyawannya. Tahun ini sungguh beruntung bagi keluarga Anabel karena mereka mendapat hadiah berlibur ke Plateau Dieng dan berkesempatan menginap di vila milik Harta Wijaya, pemilik dari perusahaan tempat ayahnya bekerja. Namun, benarkah mereka beruntung mendapatkan hadiah tersebut?
Vila milik Harta Wijaya dijaga oleh Pak Simhar, seorang lelaki tua yang sudah bungkuk dengan mata sebelah kirinya terbuat dari kaca. Di ruang tengah vila terdapat ratusan foto berpigura yang digantung di dinding, Foto-foto tersebut adalah foto semua tamu yang pernah menginap di vila tersebut yang anehnya mereka semua sama seperti keluarga Anabel, keluarga yang hanya beranggotakan empat orang dengan dua anak. Pak Simhar meminta keluarga Anabel bersiap-siap nanti malam untuk difoto dan akan dipajang di ruangan tersebut. Saat hendak berfoto, Anabel sedikit merasa aneh dengan vila itu, ia melihat sosok seorang anak perempuan berambut panjang di belakang Pak Simhar namun ketika ditanya, Pak Simhar tidak tahu-menahu soal kehadiran gadis itu. Setelah foto mereka diambil dengan sebuah kamera tua bernama Commodore, kejadian-kejadian aneh pun dimulai.
Keesokan harinya, Anabel mendengar teriakan Sigi dari sebuah ruangan. Saat Anabel menghampirinya, Sigi tengah berteriak senang karena menemukan sebuah trampolin besar di ruangan itu. Setelah Anabel puas bermain dengan Sigi, Anabel berencana mencari orang tuanya namun ia tidak menemukannya. Dari Pak Simhar-lah Anabel tahu bahwa ibunya sedang berada di dapur, sedangkan ayahnya berada di kebun.
Melihat ibunya yang asyik memasak dan ayahnya yang juga asyik berkebun, Anabel memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian di sekitar vila hingga akhirnya ia menemukan sebuah ruangan dengan berbagai macam hiasan yang bagus untuk dijadikan kartu ucapan. Ia pun dengan bersemangat membuat kartu-kartu ucapan terutama untuk Sigi karena adiknya itu sudah lama meminta Anabel membuatkan kartu ucapan untuknya. Hobinya membuat kartu ucapan membuat Anabel lupa waktu hingga akhirnya ia tertidur karena lelah.
Tinggal cukup lama di vila tersebut membuat Anabel menyadari bahwa keluarganya mulai bertingkah aneh. Ibunya terus memasak di dapur tanpa henti, begitu pula dengan ayahnya yang terus-menerus berada di kebun. Ditambah lagi dengan kamar Anabel yang tiba-tiba menjadi berantakan dan terdapat secarik kertas bertuliskan 'Bakar vila ini!'Anabel segera mencari Sigi dan memberitahu semua keanehan tersebut. Ia juga menunjukkan kegiatan ayahnya di kebun dan sebuah tali merah yang menjerat leher ayahnya. Mulanya Sigi sama sekali tidak percaya dengan ucapan Anabel karena ia tidak melihat tali yang menjerat leher ayahnya tersebut, hingga pada akhirnya Anabel memotret Sigi dan menunjukkan foto leher Sigi yang dijerat tali berwarna merah padanya, barulah Sigi percaya.
Anabel dan Sigi mencari solusi bersama. Anabel yang sempat melihat sosok anak perempuan saat ia membuat kartu ucapan, mengajak Sigi menemui gadis tersebut dan ternyata gadis bernama Arumi itu sudah meninggal. Jiwa Arumi-lah yang dilihat oleh Anabel dan Sigi. Dari penuturan Arumi, Anabel dan Sigi akhirnya mengetahui kebenaran dari vila tersebut dan sosok Pak Simhar tidak seperti yang mereka bayangkan selama ini.
Sebagai novel yang terbit pada tahun 2014, gambar pada sampul Kamera Pengisap Jiwa terkesan lawas dengan ilustrasi berupa gambar manual yang diarsir pada bagian tertentu dan penggunaan warna yang dicampurkan untuk mengisi gambar kamera, serta sosok monster yang tidak terlihat begitu jelas di baliknya. Penempatan layout sampulnya juga kurang menarik karena judul yang seharusnya dibaca terlebih dahulu diletakkan di bawah dan sama besar dengan tulisan "Seri Takut", ditambah dengan warna hitam yang membuatnya kurang kontras dengan latar belakangnya.
Alur yang digunakan dalam novel ini adalah alur maju, tidak ada flashback sehingga membuat pembaca mengerti secara keseluruhan isi cerita tersebut. Gaya bahasa yang digunakan pun sederhana, tidak ada istilah-istilah rumit.
Watak setiap tokoh tergambar sangat jelas. Saya pribadi menyukai sifat Anabel yang pantang menyerah, mengambil berbagai resiko untuk menyelamatkan keluarganya. Di sinilah terdapat sebuah pesan moral bahwa keluarga yang kita miliki, seburuk apapun mereka, adalah yang paling berharga di dunia ini.
Sebagai pecinta cerita misteri, saya sangat menikmati cerita Kamera Pengisap Jiwa. Setiap bab selalu diakhiri dengan kalimat yang mengundang rasa penasaran, Namun ada detail cerita yang seharusnya ada, namun tidak diceritakan seperti mengapa mata sebelah kiri Pak Simhar terbuat dari kaca dan Arumi menyarankan agar Anabel tidak melihat mata kiri milik Pak Simhar tersebut? Mengapa hanya keluarga dengan dua orang anak saja yang diundang ke vila tersebut? Apakah ini ada hubungannya dengan keluarga berencana yang memiliki dua anak cukup?
Akhir cerita dari Kamera Pengisap Jiwa pun kurang jelas dan terkesan terburu-buru. Ketika keluarga Anabel sudah berhasil kabur dari vila tersebut dan Sigi memotret Anabel lalu menunjukkan foto tersebut padanya, Anabel terkejut karena selain kamera polaroidnya tadi sudah terbakar dalam vila, ia juga mendapati foto lehernya sendiri yang dijerat tali merah. Seketika itu juga Anabel menyadari bahwa Sigi yang duduk di sebelahnya bukanlah Sigi yang asli. Lalu bagaimana nasib Sigi yang sebenarnya dan mengapa leher Anabel masih terjerat tali merah? Mengapa tidak ada penjelasan mengenai cara mengalahkan iblis di vila tersebut sehingga mereka bisa lepas sepenuhnya? Bukankah setiap cerita misteri selalu ada solusi untuk mengalahkan roh-roh jahat? Bagian inilah yang membuat cerita Kamera Pengisap Jiwa terkesan kurang greget dengan ending yang terlalu mudah sehingga rasa penasaran yang sudah hadir di awal menjadi tak terpuaskan.
Memang sebagian besar kisah misteri memiliki akhir yang tidak selesai, namun rasanya akhir cerita dari Kamera Pengisap Jiwa benar-benar belum selesai dan lebih bagus jika dibuat seri keduanya.
Novel ini cukup recommended bagi pembaca yang menyukai cerita misteri. Alur cerita dan gaya bahasanya sederhana. Deskripsi dalam novel cukup detail sehingga pembaca akan merasakan bagaimana jika berada di posisi Anabel.
No comments:
Post a Comment