Monday, June 1, 2015

Jalan Pintas

“Ma...” Aku terisak menatap mama yang kini sedikitpun tidak ingin melihatku. Mata mama memerah, aku tahu mama sedang menahan tangisnya. Belum pernah aku bertengkar hebat dengan mama seperti ini. Bertengkar mungkin bukan kata yang tepat. Lebih tepatnya akulah yang membuat mama marah. Tidak, mama pasti sangat kecewa ketimbang marah.
“Kenapa, Dewi?” mama berbicara setelah bermenit-menit kami dikelilingi oleh rasa sepi yang menyesakkan.
“Dewi.. Dewi tidak tahu, Ma. Bukan sekali ini saja Dewi merasakan hal seperti itu.”
“Sejak kapan?” Nada suara mama masih terdengar datar.
“Sejak.. SMP..” kataku dengan terpatah-patah. “Dewi tidak tahu kenapa Dewi berbeda dengan teman-teman yang lain... Mereka.. Mereka menyukai teman sebaya kami, sedangkan Dewi.. Tidak tertarik. Dewi malah.. Malah menyukai seorang guru.”
Mata mama terpejam kala mendengar kalimat terakhirku. Beberapa saat kemudian mama menarik nafas dalam-dalam dan bertanya, “Apa karena ayah? Apa semua ini karena kau merindukan sosok seorang ayah?!” Nada suara mama meninggi, aku tertegun mendengarnya. Bibirku terkatup rapat memikirkan pertanyaan mama.
Benarkah yang mama katakan barusan? Benarkah aku lebih menyukai pria yang usianya jauh di atasku karena aku merindukan sosok seorang ayah? Kata mama, ayah sudah meninggal sebelum aku lahir. Sejak kecil aku memang sering bertanya-tanya bagaimana rasanya memiliki seorang ayah. Melihat teman-temanku digendong dan dimanja oleh ayahnya membuatku iri. Aku pernah bertanya kepada mama mengapa ia tidak menikah lagi, mama menjawab bahwa ia tidak membutuhkan pengganti ayahku. Mama tidak ingin aku merasa tidak nyaman dengan kehadiran orang asing. Aku senang mendengar jawaban mama, tapi keinginan untuk memiliki seorang ayah terlalu kuat di dalam hatiku.
Hingga suatu hari aku bertemu dengan Thomas Brawijaya. Aku bekerja di sebuah biro periklanan dan Thomas adalah salah satu klienku. Pertemuan kami tidak istimewa layaknya seorang konsultan dan klien. Namun semakin hari perbincangan kami yang semula hanya melibatkan pekerjaan, menjurus ke sesuatu yang bersifat pribadi. Jujur aku merasa nyaman berbincang dengan Thomas. Ada perbedaan yang kurasakan saat mencurahkan isi hatiku padanya. Ia pendengar yang baik, tidak pernah mengintimidasi, dan selalu memberikan solusi yang hebat.
Aku tahu ada yang salah pada diriku. Namun aku tak memungkiri betapa bahagianya aku saat mengetahui bahwa Thomas belum berkeluarga. Sekian lama kami berteman, Thomas akhirnya mengungkapkan perasaannya padaku. Aku menerimanya dan kami pun jadian. Aku bahagia, namun aku tahu cepat atau lambat kebahagiaan ini akan berakhir. Mama pasti tidak akan menyetujui hubungan kami.
“Demi Tuhan, Dewi, dia lebih pantas menjadi ayahmu!” Sepertinya mama menjadi marah karena aku tidak mampu menjawab pertanyaan mama tadi.
“A.. Aku tahu..” Isakanku terdengar semakin keras. “Tapi Thomas belum berkeluarga. Apa salahnya?”
“Kau tidak akan bahagia, Dewi! Usia kalian terlampau jauh. Pokoknya mama tidak akan merestui!”
Tanpa menunggu jawabanku, mama beranjak dari sofa dan masuk ke dalam kamar, disusul dengan suara pintu dibanting. Aku kembali menangis. Sepertinya aku tidak akan bisa meyakinkan mama. Sambil terisak aku merogoh saku dan mengeluarkan ponselku. Kutekan sebuah nomor yang sudah kuhafal di luar kepala. Tidak sampai tiga deringan suara Thomas terdengar di ujung telepon.
“Halo, Wi.”
“Thomas.. Aku setuju.” Demi meyakinkan hatiku, aku memejamkan mata lalu melanjutkan, “Kita kawin lari saja.”

***

No comments:

Post a Comment