Type: Song fiction
Original Song: Freya Lim – Zhe Yang Ai Ni Hao Ke Pa
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Perkenalkan, ini Winda, pacarku.”
Ini kali pertama aku bertemu dengan Toni setelah 2
tahun yang lalu hubungan kami berakhir. Aku tahu dia sudah pulang dari Amerika 3
bulan yang lalu. Tapi aku sungguh tidak menyangka akan bertemu dengannya di
sini. Melihatnya di restoran ini bersama seorang wanita cantik, membuatku terus
saja berdoa semoga wanita tersebut bukan pacar barunya. Tapi ternyata apa yang
tak ingin kudengar, justru dengan jelas terucap dari bibir Toni sendiri. Aku
mulai menyesal mengapa aku tidak langsung kabur begitu melihat Toni juga berada
di restoran ini. Mengapa otak dan kakiku tidak sejalan? Mengapa kakiku tidak
bergerak sampai pada akhirnya Toni melihatku dan menghampiriku, kemudian
memperkenalkan wanita tersebut padaku? Dan mengapa pula dari sekian banyak
restoran yang ada di kota ini, Toni harus datang ke restoran yang sama
denganku? Padahal selama ini aku sudah berusaha untuk tidak lagi mendatangi
tempat manapun yang bisa mengingatkanku pada dirinya.
“Winda.” Wanita itu mengulurkan tangannya padaku.
Bodoh! Di saat seperti ini aku hanya bisa terdiam.
Tersenyum pun tak bisa, apalagi membalas uluran tangannya. Mataku mulai
berkaca-kaca. Oh, Tuhan! Jangan biarkan aku menangis di sini. Setidaknya jangan
di depan Toni dan pacar barunya ini.
“Cindy? Kau kenapa? Kau baik-baik saja?” Toni
menatapku dengan khawatir karena aku masih belum merespon uluran tangan Winda.
Saat itu pula aku tersadar dan segera mengulurkan tangan, plus senyuman yang kupaksakan.
“Cindy.” Kataku sambil menjabat tangan Winda selama
sepersekian detik.
“Ah, kebetulan kita bertemu. Kau sendirian? Mau
bergabung dengan kami?” Toni menawarkan, membuatku seketika menjadi panik.
“Oh, tidak usah. Aku janjian dengan teman-temanku
kok. Aku tidak mau mengganggu kencan kalian.” Kataku dengan sedikit kerlingan
di mata. WOW! Sungguh akting yang sangat bagus! Aku sendiri tidak tahu dari
mana bakatku ini. Mungkin aku cocok juga menjadi artis!
“Baiklah. Kalau begitu kami ke sana dulu.” Kata Toni
yang diikuti oleh senyuman manis Winda.
“Ya, silahkan.”
“Senang bertemu denganmu.” Kata Winda.
“Aku juga.”
Ah, sekarang aku tidak bisa kabur lagi! Aku sudah
terlanjur mengatakan bahwa aku ada janji dengan teman-temanku di sini. Tidak
lucu jika aku langsung keluar dari restoran ini. Sebenarnya aku datang ke sini
sendirian, berencana untuk menenangkan pikiran dari pekerjaan yang menumpuk,
ditambah dengan pikiran-pikiran mengenai Toni yang masih saja berputar di
kepalaku selama 3 tahun ini. Sialnya, aku malah bertemu dengannya di sini!
Aku melangkahkan kakiku menuju meja yang paling
jauh dari meja Toni dan Winda, lalu mendaratkan pantatku dengan sedikit keras.
Sekarang nafsu makanku sudah hilang. Aku pun memanggil pelayan dan hanya
memesan segelas teh manis hangat.
Sembari menunggu pesanan, aku tidak bisa menahan
pandanganku dari Toni dan Winda. Mereka sedang berbincang dengan asyiknya,
sambil beberapa kali tertawa. Hatiku masih saja sakit melihat kelakuan mereka.
“Cindy, kau
kenapa?” pertanyaan Toni tadi masih terngiang di pikiranku. Kenapa katanya?
Apa perlu ia bertanya seperti itu? Apa dia tidak melihat mataku yang sudah
berkaca-kaca dan kelakuan bodohku yang lama terdiam saat ia mengenalkan pacar
barunya? Bukankah dulu dia bilang, dia yang paling mengerti diriku? Lalu kenapa
sekarang dia harus bertanya seperti itu? Apa dia mau mempermalukan aku di depan
Winda? Apa dia merasa menang sekarang? Dasar Toni bodoh!
Hah, aku jadi teringat lagi saat-saat kami akan
berpisah.
Tiga tahun yang
lalu…
“Kita putus saja.”
Akhirnya setelah aku memantapkan hatiku, kalimat itu terucap.
“Apa?” Toni
menatapku dengan pandangan tidak percaya. “Kenapa?”
“Kau masih tanya
kenapa? Toni, kau tahu aku selalu ingin berada di sampingmu, tapi.. Kau akan ke
Amerika. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku tanpa dirimu.”
“Tapi.. Kita kan
masih bisa berkomunikasi lewat internet.”
“Aku tidak bisa,
Toni. Terlalu lama. Kau memilih untuk pergi. Aku tidak ingin menahanmu di sini,
kau harus menggapai impianmu. Aku membebaskanmu. Pergilah. Jangan hiraukan aku.”
“Cindy..” Toni
menatapku dengan pandangan memohon, tapi aku segera mengangkat tanganku.
“Sudahlah. Kita
akhiri saja semua ini.”
Keheningan melanda
kami selama beberapa saat sebelum akhirnya Toni menghela nafasnya dan bertanya,
“Kau serius?”
Butuh waktu untuk
menjawab pertanyaan itu. Apa aku serius? Kalau boleh jujur, aku juga tidak
ingin mengakhiri hubungan ini. Aku mencintai Toni. Tapi aku tidak akan bisa
hidup tanpa dia di sampingku. Aku terlalu mengandalkannya. Dengan pilihan Toni
untuk berangkat ke Amerika, akhirnya menyadarkanku bahwa tidak selamanya aku
bisa bersandar padanya. Ada kalanya aku harus lepas, dan mungkin inilah
saatnya. Aku harus mengandalkan diriku sendiri mulai saat ini. Aku tidak boleh
menahan Toni. Biarkan ini menjadi keputusan yang terbaik.
“Ya.” Kataku selama
jeda beberapa saat. “Kalau memang kita berjodoh, pasti akan bersatu kembali.
Percayalah. Mungkin ini memang jalan terbaik. Kalau suatu hari nanti kau
bertemu dengan seorang wanita, bukalah hatimu. Jangan pikirkan aku lagi. Oke?”
Toni menatapku
dalam. Mungkin ia berharap aku menarik kembali ucapanku. Tapi itu tidak akan
terjadi. Aku bukan orang yang bisa dengan mudahnya menarik ucapanku. Dan
ucapanku ini sudah aku pikirkan dengan matang selama tiga malam.
“Baiklah. Kalau
itu maumu.”
Di satu sisi aku
lega karena semua ini berjalan sesuai dengan skenario di otakku. Tapi di sisi
lain, ada bagian dari hatiku yang terasa sakit dan menyayat. Jauh di dalam
lubuk hatiku, aku ingin Toni bersikeras untuk tidak ingin berpisah denganku.
Namun ini sudah menjadi keputusanku. Aku yang memutuskan dan hal itu tidak akan
kuubah.
“Silahkan, Nona, teh hangatnya.” Segelas teh hangat
yang dibawakan pelayan langsung membuyarkan lamunanku. Aku pun menyesap teh-ku
beberapa teguk dan kembali memperhatikan Toni.
“Kau
baik-baik saja?” pertanyaan Toni tadi kembali terngiang. Aku tersenyum
kecil.
Apa menurutmu aku baik-baik saja? Ya, aku akan
baik-baik saja kalau ternyata pacar barumu itu tidak lebih baik dariku. Kau
mungkin akan kembali mengingat kebersamaan kita. Aku akan baik-baik saja kalau
kau dan pacar barumu itu ternyata tidak cocok dan mulai bertengkar. Setidaknya
kau akan tahu bahwa hanya diriku yang pantas untukmu.
Aku yang dulu meminta berpisah, dan sekarang aku
yang menyesal. Apalagi setelah melihat dirimu bisa dengan mudahnya mendapatkan
pacar baru, sementara aku di sini masih terpaku dalam ingatan akan dirimu. Aku
sadar aku memang egois. Sudah memutuskanmu secara sepihak dan sekarang ingin
memilikimu kembali.
Apa jadinya jika orang-orang mengetahui pemikiranku
ini? Mereka pasti menertawakanku. Lalu bagaimana dengan dirimu? Dengan caraku
mencintaimu yang seperti ini, yang justru menginkan hubunganmu dan pacar barumu
hancur berantakan, masihkan mungkin aku mendapatkan cintamu lagi?
Ah, ada apa dengan diriku ini? Caraku mencintaimu
sungguh mengerikan!