“Ya Lun, wo xi huan ni (Aku menyukaimu)!” aku
memejamkan mata saat meneriakkan kalimat itu. Lalu kubuka mataku untuk melihat
reaksi Ya Lun. Sembari membubuhkan tanda tangan pada album terbarunya, ia
menatapku dan tersenyum. Ya, senyum itulah yang membuatku tidak bisa tidur
setiap malam selama 5 tahun belakangan ini. Senyuman yang sangat kurindukan.
“Xie Xie (Terima kasih).” Katanya.
Aku mengerjapkan
mataku. Terima kasih? Oh, bukan itu yang ingin kudengar. Aku tidak perlu ucapan
terima kasihnya. Aku perlu jawaban. Tapi setelah berpikir bahwa di mata Ya Lun,
hubunganku dan dia hanyalah sebatas idola dan penggemarnya, aku lantas kecewa
dan menggelengkan kepalaku.
“Bu shi! Wo xi huan ni! Zhen de xi huan ni.
(Bukan! Aku menyukaimu! Benar-benar menyukaimu!)” Bagus! Kini aku terlihat
seperti orang yang keras kepala dan tidak tahu malu. Sementara Ya Lun
mengernyit bingung, namun senyuman belum lepas dari wajahnya.
“Ya Lun, ni ji de wo ma? (Kau ingat padaku
tidak?)” tanyaku, masih tidak mau kalah.
Kernyit di dahi Ya
Lun semakin dalam. Aku sadar aku telah melakukan hal bodoh. Kejadian antara aku
dan Ya Lun sudah lama terjadi dan tidak bisa dikatakan sebagai sebuah peristiwa yang
besar. Setidaknya untuk Ya Lun. Tapi bagiku, kejadian tersebut berdampak besar
bagiku, terutama hatiku.
“Xiao jie, ni de zhuan ji (Nona, ini
albummu).” Kata salah satu staff
sambil menyerahkan album yang telah ditandatangani Ya Lun padaku. Aku terpaksa
mengalihkan perhatianku dan mengambil album tersebut.
“Wo xi huan ni (Aku menyukaimu).” Kataku
lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih serius.
“Oh, Xie xie.” Lagi-lagi ucapan terima kasih
yang kudapat. Aku menghela nafas kecewa lalu berbalik pergi sebelum penggemar
lain mendecak sebal karena aku menghalangi mereka untuk segera bertatap muka
dengan Ya Lun.
Sementara Ya Lun
kembali sibuk menyapa dan memberi tandatangan, aku masih menatapnya dari
kejauhan. Kalau perlu sampai acara ini selesai.
Aku kembali
mengulang kejadian antara diriku dengan Ya Lun. Sekitar lima tahun yang lalu
saat aku masih duduk di bangku SMP.
“Hei, kau jangan kegenitan ya! Dong Xun itu
pacarku! Jangan berani kau mendekatinya! Memangnya kau pikir kau ini siapa?
Hanya gadis miskin tak tahu diri yang nyasar di sekolah kami!”
Aku terdiam saat dipojokkan oleh senior di
sekolahku. Begitu bel pulang sekolah berbunyi dan aku melangkah keluar kelas,
dua orang seniorku segera menyeretku keluar sekolah. Aku dibawa ke sebuah
lapangan kosong yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Di sana sudah menunggu
seorang siswi senior cantik yang tentunya sangat populer di sekolah bernama
Vivian. Aku hampir tidak percaya bahwa sekarang akulah yang akan jadi korban
penindasan mereka. Aku memang pernah mendengar betapa sadisnya senior cantik
yang satu ini. Kata murid-murid yang lain, jangan pernah mendekati pacar Vivian
jika tidak mau celaka. Tapi aku tidak pernah tahu bahwa pacar Vivian yang
dimaksud adalah Dong Xun, ketua klub sastra yang keren itu. Aku sudah jatuh
cinta pada dunia sastra sejak kecil sehingga aku sangat senang saat mengetahui
di sekolahku ini ada sebuah klub sastra, dan menjadi semakin semangat setelah
bertemu dengan Dong Xun sebagai ketuanya. Dong Xun adalah orang yang sangat
baik. Ia sering membantuku jika aku mengalami kesulitan, juga memberikan
ilmu-ilmu sastra yang tidak pernah kuketahui sebelumnya. Aku senang dengan cara
Dong Xun bercerita. Pembawaannya yang ceria membuatku ikut larut dalam setiap
ucapannya. Senyumnya yang manis pun terkadang mampu membuat jantungku
berdebar-debar.
“Kenapa kau diam saja? Kau tuli?!” Vivian mulai
membentak, membuatku terkejut.
“A.. Aku tidak tahu.”
“Tidak tahu? Kau tidak tahu Dong Xun itu pacarku?
Hah! Kau memang benar-benar kurang pergaulan! Tidak pantas sekolah di tempat
kami! Sebaiknya kau keluar saja! Jangan membuat sekolah kami kotor!”
Vivian kemudian mendorongku hingga jatuh. Aku
meringis kesakitan.
“Hey!” Tepat saat aku terjatuh, sebuah suara
terdengar dari kejauhan. Kami menoleh bersamaan dan melihat seorang pemuda
sedang berlari menghampiri kami.
“Siapa kau?” tanya Vivian dengan nada dingin.
Sementara pemuda tersebut sudah berdiri di depanku yang masih terduduk di atas
tanah.
“Kalian tidak perlu tahu siapa aku. Kalian tidak
pantas melakukan penindasan seperti ini.” Kata pemuda itu dengan tegas.
“Kami tidak menindasnya. Dia yang mulai mencari
masalah dengan kami.” Vivian tidak mau disalahkan.
“Bukan begini caranya. Pergi sekarang juga! Atau
akan kulapor polisi atas tindakan penganiayaan.”
Wajah Vivian tampak sedikit pucat. Tapi ia masih
berusaha bersikap tenang.
“Serius sekali. Kami kan hanya main-main.” Setelah
mengatakan hal itu, Vivian mengajak dua temannya untuk pergi meninggalkan lapangan.
Pemuda itu membalikkan tubuhnya dan mengulurkan
tangannya padaku. Dengan sedikit ragu aku mengulurkan tanganku dan berdiri.
Pantatku masih sedikit sakit tapi kutahan.
“Terima kasih.” Kataku.
“Sama-sama.” Pemuda itu tersenyum padaku. Entah
bagaimana caranya senyuman itu langsung tertanam di otakku. Menjalar ke seluruh
tubuhku dan berujung pada jantungku yang berdebar kencang. Debaran ini bahkan
melebihi debaran saat aku sedang memandangi Dong Xun. Dan debaran ini berbeda.
Ia memberikan kehangatan di hatiku.
“Kau harus kuat, jangan mau ditindas seperti itu.” Katanya
lagi. Refleks aku menganggukkan kepalaku.
“Bagus.” Katanya lalu menepuk pelan kepalaku.
Kakiku lemas seketika. Sentuhan tangannya di kepalaku entah mengapa membuatku
lumpuh. Kalau saja aku tidak tahu malu, aku pasti sudah terduduk lemas. Tapi
aku berusah untuk tetap menjaga keseimbangan tubuhku.
“Wo shi Ya Lun. (Namaku Ya Lun). Kau?” Pemuda bernama Ya
Lun itu mengulurkan tangannya, mengajakku bersalaman.
“Mei Ling.” Aku membalas jabatan tangannya. Hangat.
Rasanya aku tidak ingin melepaskannya. Mungkin ini yang dinamakan cinta pada
pandangan pertama. Tapi apakah ini cinta? Aku sendiri belum paham benar.
“Kau mau minta tanda tanganku?”
“Hah?” Aku mengernyit atas pertanyaan anehnya.
“Hahaha.. Kai wan xiao de la (Aku bercanda). Siapa tahu nanti aku jadi
terkenal, kau akan sulit untuk mendapatkan tanda tanganku.”
Aku tertawa kecil mendengar gurauannya. Kami pun
akhirnya berpisah begitu saja. Tidak saling bertukar e-mail atau nomor ponsel.
Dan aku terlalu sibuk dengan debaran jantungku sehingga tidak terpikir untuk
memintanya.
Siapa sangka,
gurauannya menjadi kenyataan. Lihatlah ia sekarang. Menjadi aktor dan penyanyi
terkenal di Asia. Ini pertama kalinya aku bisa hadir di acara tanda tangan Ya
Lun, bertatap muka lagi untuk kedua kalinya. Berharap ia menyapa dan menanyakan
kabarku. Tapi mengingatku saja tidak. Mungkin baginya, kejadian kecil itu tidak
berarti. Hanya sepotong kejadian tak penting yang kebetulan terselip dalam
perjalanan hidupnya.
Aku kecewa, tentu
saja. Aku sudah berharap banyak. Aku dengan pikiran bodohku. Artis se-terkenal Ya
Lun mana mungkin ingat dengan kejadian itu. Siapalah diriku ini? Hanya satu dari
sekian banyak penggemar, tak lebih dari seekor kutu sekalipun, yang bermimpi bahwa
seorang Ya Lun akan mengingatku hanya dari sepotong kisah tak berarti.
Ya Lun kembali
tersenyum pada penggemarnya. Senyum yang dulu kupikir hanya untukku dan
tertanam di benakku seorang, kini sudah menjadi milik publik. Tapi sepotong
kisah itu telah menjadi kenangan tersendiri untukku. Kenangan indah yang hanya melibatkan
aku dan Ya Lun seorang, meskipun ia tidak mengingatnya.
“Tidak apa-apa. Setidaknya aku sudah mengungkapkan perasaanku padanya.” Ucapku dalam
hati, mencoba menghibur diriku sendiri. Ya, hanya dengan melihat senyuman itu
sekali lagi saja, sudah cukup membuatku bahagia.
***
No comments:
Post a Comment