Tuesday, September 23, 2014

這樣的幸福剛剛好 (Zhe Yang Xing Fu Gang Gang Hao - This Kind of Happiness is Enough) - Short Story

“Ya Lun, wo xi huan ni (Aku menyukaimu)!” aku memejamkan mata saat meneriakkan kalimat itu. Lalu kubuka mataku untuk melihat reaksi Ya Lun. Sembari membubuhkan tanda tangan pada album terbarunya, ia menatapku dan tersenyum. Ya, senyum itulah yang membuatku tidak bisa tidur setiap malam selama 5 tahun belakangan ini. Senyuman yang sangat kurindukan.
Xie Xie (Terima kasih).” Katanya.
Aku mengerjapkan mataku. Terima kasih? Oh, bukan itu yang ingin kudengar. Aku tidak perlu ucapan terima kasihnya. Aku perlu jawaban. Tapi setelah berpikir bahwa di mata Ya Lun, hubunganku dan dia hanyalah sebatas idola dan penggemarnya, aku lantas kecewa dan menggelengkan kepalaku.
Bu shi! Wo xi huan ni! Zhen de xi huan ni. (Bukan! Aku menyukaimu! Benar-benar menyukaimu!)” Bagus! Kini aku terlihat seperti orang yang keras kepala dan tidak tahu malu. Sementara Ya Lun mengernyit bingung, namun senyuman belum lepas dari wajahnya.
“Ya Lun, ni ji de wo ma? (Kau ingat padaku tidak?)” tanyaku, masih tidak mau kalah.
Kernyit di dahi Ya Lun semakin dalam. Aku sadar aku telah melakukan hal bodoh. Kejadian antara aku dan Ya Lun sudah lama terjadi dan tidak bisa dikatakan sebagai sebuah peristiwa yang besar. Setidaknya untuk Ya Lun. Tapi bagiku, kejadian tersebut berdampak besar bagiku, terutama hatiku.
Xiao jie, ni de zhuan ji (Nona, ini albummu).” Kata salah satu staff sambil menyerahkan album yang telah ditandatangani Ya Lun padaku. Aku terpaksa mengalihkan perhatianku dan mengambil album tersebut.
Wo xi huan ni (Aku menyukaimu).” Kataku lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih serius.
“Oh, Xie xie.” Lagi-lagi ucapan terima kasih yang kudapat. Aku menghela nafas kecewa lalu berbalik pergi sebelum penggemar lain mendecak sebal karena aku menghalangi mereka untuk segera bertatap muka dengan Ya Lun.
Sementara Ya Lun kembali sibuk menyapa dan memberi tandatangan, aku masih menatapnya dari kejauhan. Kalau perlu sampai acara ini selesai.
Aku kembali mengulang kejadian antara diriku dengan Ya Lun. Sekitar lima tahun yang lalu saat aku masih duduk di bangku SMP.

“Hei, kau jangan kegenitan ya! Dong Xun itu pacarku! Jangan berani kau mendekatinya! Memangnya kau pikir kau ini siapa? Hanya gadis miskin tak tahu diri yang nyasar di sekolah kami!”
Aku terdiam saat dipojokkan oleh senior di sekolahku. Begitu bel pulang sekolah berbunyi dan aku melangkah keluar kelas, dua orang seniorku segera menyeretku keluar sekolah. Aku dibawa ke sebuah lapangan kosong yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Di sana sudah menunggu seorang siswi senior cantik yang tentunya sangat populer di sekolah bernama Vivian. Aku hampir tidak percaya bahwa sekarang akulah yang akan jadi korban penindasan mereka. Aku memang pernah mendengar betapa sadisnya senior cantik yang satu ini. Kata murid-murid yang lain, jangan pernah mendekati pacar Vivian jika tidak mau celaka. Tapi aku tidak pernah tahu bahwa pacar Vivian yang dimaksud adalah Dong Xun, ketua klub sastra yang keren itu. Aku sudah jatuh cinta pada dunia sastra sejak kecil sehingga aku sangat senang saat mengetahui di sekolahku ini ada sebuah klub sastra, dan menjadi semakin semangat setelah bertemu dengan Dong Xun sebagai ketuanya. Dong Xun adalah orang yang sangat baik. Ia sering membantuku jika aku mengalami kesulitan, juga memberikan ilmu-ilmu sastra yang tidak pernah kuketahui sebelumnya. Aku senang dengan cara Dong Xun bercerita. Pembawaannya yang ceria membuatku ikut larut dalam setiap ucapannya. Senyumnya yang manis pun terkadang mampu membuat jantungku berdebar-debar.
“Kenapa kau diam saja? Kau tuli?!” Vivian mulai membentak, membuatku terkejut.
“A.. Aku tidak tahu.”
“Tidak tahu? Kau tidak tahu Dong Xun itu pacarku? Hah! Kau memang benar-benar kurang pergaulan! Tidak pantas sekolah di tempat kami! Sebaiknya kau keluar saja! Jangan membuat sekolah kami kotor!”
Vivian kemudian mendorongku hingga jatuh. Aku meringis kesakitan.
“Hey!” Tepat saat aku terjatuh, sebuah suara terdengar dari kejauhan. Kami menoleh bersamaan dan melihat seorang pemuda sedang berlari menghampiri kami.
“Siapa kau?” tanya Vivian dengan nada dingin. Sementara pemuda tersebut sudah berdiri di depanku yang masih terduduk di atas tanah.
“Kalian tidak perlu tahu siapa aku. Kalian tidak pantas melakukan penindasan seperti ini.” Kata pemuda itu dengan tegas.
“Kami tidak menindasnya. Dia yang mulai mencari masalah dengan kami.” Vivian tidak mau disalahkan.
“Bukan begini caranya. Pergi sekarang juga! Atau akan kulapor polisi atas tindakan penganiayaan.”
Wajah Vivian tampak sedikit pucat. Tapi ia masih berusaha bersikap tenang.
“Serius sekali. Kami kan hanya main-main.” Setelah mengatakan hal itu, Vivian mengajak dua temannya untuk pergi  meninggalkan lapangan.
Pemuda itu membalikkan tubuhnya dan mengulurkan tangannya padaku. Dengan sedikit ragu aku mengulurkan tanganku dan berdiri. Pantatku masih sedikit sakit tapi kutahan.
“Terima kasih.” Kataku.
“Sama-sama.” Pemuda itu tersenyum padaku. Entah bagaimana caranya senyuman itu langsung tertanam di otakku. Menjalar ke seluruh tubuhku dan berujung pada jantungku yang berdebar kencang. Debaran ini bahkan melebihi debaran saat aku sedang memandangi Dong Xun. Dan debaran ini berbeda. Ia memberikan kehangatan di hatiku.
“Kau harus kuat, jangan mau ditindas seperti itu.” Katanya lagi. Refleks aku menganggukkan kepalaku.
“Bagus.” Katanya lalu menepuk pelan kepalaku. Kakiku lemas seketika. Sentuhan tangannya di kepalaku entah mengapa membuatku lumpuh. Kalau saja aku tidak tahu malu, aku pasti sudah terduduk lemas. Tapi aku berusah untuk tetap menjaga keseimbangan tubuhku.
Wo shi Ya Lun. (Namaku Ya Lun). Kau?” Pemuda bernama Ya Lun itu mengulurkan tangannya, mengajakku bersalaman.
“Mei Ling.” Aku membalas jabatan tangannya. Hangat. Rasanya aku tidak ingin melepaskannya. Mungkin ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Tapi apakah ini cinta? Aku sendiri belum paham benar.
“Kau mau minta tanda tanganku?”
“Hah?” Aku mengernyit atas pertanyaan anehnya.
“Hahaha.. Kai wan xiao de la (Aku bercanda). Siapa tahu nanti aku jadi terkenal, kau akan sulit untuk mendapatkan tanda tanganku.”
Aku tertawa kecil mendengar gurauannya. Kami pun akhirnya berpisah begitu saja. Tidak saling bertukar e-mail atau nomor ponsel. Dan aku terlalu sibuk dengan debaran jantungku sehingga tidak terpikir untuk memintanya.

Siapa sangka, gurauannya menjadi kenyataan. Lihatlah ia sekarang. Menjadi aktor dan penyanyi terkenal di Asia. Ini pertama kalinya aku bisa hadir di acara tanda tangan Ya Lun, bertatap muka lagi untuk kedua kalinya. Berharap ia menyapa dan menanyakan kabarku. Tapi mengingatku saja tidak. Mungkin baginya, kejadian kecil itu tidak berarti. Hanya sepotong kejadian tak penting yang kebetulan terselip dalam perjalanan hidupnya.
Aku kecewa, tentu saja. Aku sudah berharap banyak. Aku dengan pikiran bodohku. Artis se-terkenal Ya Lun mana mungkin ingat dengan kejadian itu. Siapalah diriku ini? Hanya satu dari sekian banyak penggemar, tak lebih dari seekor kutu sekalipun, yang bermimpi bahwa seorang Ya Lun akan mengingatku hanya dari sepotong kisah tak berarti.
Ya Lun kembali tersenyum pada penggemarnya. Senyum yang dulu kupikir hanya untukku dan tertanam di benakku seorang, kini sudah menjadi milik publik. Tapi sepotong kisah itu telah menjadi kenangan tersendiri untukku. Kenangan indah yang hanya melibatkan aku dan Ya Lun seorang, meskipun ia tidak mengingatnya.
Tidak apa-apa. Setidaknya aku sudah mengungkapkan perasaanku padanya.” Ucapku dalam hati, mencoba menghibur diriku sendiri. Ya, hanya dengan melihat senyuman itu sekali lagi saja, sudah cukup membuatku bahagia.

***

No comments:

Post a Comment