“Ni gen wo
jie hun, hao bu hao? (Menikahlah denganku, ya?)”
Setelah dua tahun berpacaran, akhirnya kalimat itu
terlontar juga dari mulutku. Saat ini, aku dan pacarku sedang menikmati
indahnya pemandangan kota Taipei di malam hari dari atas jembatan. Semalaman
aku memikirkan kalimat ini. Aku mempertimbangkan semua perkataan teman-temanku.
Katanya, jika aku mengatakan kalimat ini, maka harga diriku akan jatuh. Tapi
aku sudah tidak peduli. Jika aku tidak mengatakannya, sampai kapanpun
hubunganku tidak akan maju. Dan aku sudah bosan dengan ketidakpastian ini.
Sementara hatiku berdebar-debar menanti jawabannya,
pria berkacamata di hadapanku malah menatapku bingung. Ya, kalian tidak salah
baca atau mengira bahwa aku salah ketik. Pria di hadapanku ini adalah pacarku.
Dan aku adalah wanita. Jadi, sekarang kalian mengerti, kan, mengapa
teman-temanku berkata bahwa harga diriku akan jatuh jika aku mengucapkan
kalimat yang seharusnya diucapkan oleh pria di hadapanku ini.
Aku gemas sekali melihat tingkahnya. Pacarku memang
sangat pemalu. Bahkan dulu, aku yang mengajaknya berpacaran setelah melihat
gerak-geriknya yang sepertinya menyukaiku. Dia memang menyukaiku, dan aku lega
sekaligus senang dia menyetujui ajakanku berkencan. Aku selalu suka sifat
pemalunya, membuatku ingin sering-sering menggodanya hanya untuk melihat
reaksinya yang sangat manis di mataku.
Kupikir setelah lama berpacaran, dia akan berubah.
Tapi ternyata tidak ada sedikitpun perubahan yang kurasakan. Bisa dibilang,
selama ini akulah yang memegang kendali atas perjalanan cinta kami. Rasanya
jiwa kami tertukar.
Kalau dipikir-pikir, lucu juga. Seharusnya aku
memutuskan hubungan ini dan mencari pria lain yang lebih memiliki prinsip dan
ketegasan. Juga bisa kujadikan sandaran jika aku sedang bersedih. Tapi yang
terjadi sekarang, aku malah mengajaknya menikah. Entahlah, mungkin karena aku
mencintainya. Cinta? Benarkah aku mencintainya? Bisakah aku hidup bersama
dengan orang selalu bergantung padaku?
Zheng Xi menundukkan kepalanya. Ini pertanda bahwa
ia sedang malu atau takut. Kali ini aku tidak tahu yang mana perasaannya. Aku
gemas sekaligus kesal. Apa segitu beratnya menjawab pertanyaanku? Kenapa ia
harus ragu-ragu? Bukankah selama ini dia selalu menuruti apapun yang aku minta?
“Li.. Li Xue..” suara Zheng Xi sedikit bergetar
saat ia memanggil namaku, sementara kepalanya masih menunduk. “Pernikahan itu…
hanya sekali seumur hidup.. Apa.. kau.. yakin? Apa kau.. sungguh mencintaiku?”
Wah, ini sungguh kejadian yang sangat jarang
terjadi. Zheng Xi mengutarakan pendapatnya!
“Mengapa? Kau tidak yakin? Kau tidak mencintaiku?”
aku malah menantang Zheng Xi.
Zheng Xi mengangkat wajahnya dan menatapku dengan
pandangan terkejut. Tapi ia tidak mengucapkan apa-apa.
“Zheng Xi, bisakah kau bersikap tegas sekali saja?
Bisakah sekali saja kau yang memegang kendali atas hubungan kita? Kenapa selalu
aku yang harus maju terlebih dahulu? Aku ini wanita, dan kau pria! Aku juga
ingin bersandar pada seseorang di saat aku sedih. Tidak bisakah aku
mendapatkannya darimu? Bisakah kau lebih memiliki prinsip? Bahkan ajakan
menikah saja kau tidak bisa mengambil keputusan!” nada suaraku semakin
meninggi.
Kalau ingin jujur, sebenarnya aku lelah dengan
hubungan ini. Tapi bukannya memutuskan hubungan, aku malah mengajaknya menikah,
yang kemudian mungkin akan berujung dengan pertengkaran.
“Kenapa kau diam? Ni shuo hua a! Wo men jie
hun, hao ma? (Bicaralah! Kita menikah, oke?)”
“Li.. Li Xue.. Masalah itu…”
“Ni ai wo ma?
(Apa kau mencintaiku?)” Ah, kalimat itu sudah lama ingin kutanyakan, tapi aku
selalu tidak tega. Aku tidak ingin meragukan hubungan kami. Tapi sekarang, aku
sudah tidak tahan lagi dan akhirnya bertanya. Memang setelah dipikir-pikir,
Zheng Xi sekalipun tidak pernah mengatakan cinta padaku. Jika aku mengatakan
bahwa aku mencintainya, reaksi Zheng Xi hanya tersenyum malu dan menunduk. Dulu
kupikir reaksi itu berarti bahwa dia juga mencintaiku. Namun, sekarang aku
menjadi ragu. Dan semakin ragu dengan keputusanku untuk mengajaknya menikah.
“Wo.. (Aku..)”
Aku melihat Zheng Xi ingin mengatakan sesuatu namun terasa sangat sulit.
“Kau sulit mengatakannya? Apa karena kau takut
menyakitiku?”
Zheng Xi malah terdiam. Baiklah, mungkin keputusanku
ini salah. Kupikir selama ini Zheng Xi mencintaiku. Tapi ternyata ini hanya
kesimpulanku sendiri. Aku merasa sangat bodoh sekarang.
“Ni bu ai wo,
dui ba? (Kau tidak mencintaiku, benar
kan?)”
Zheng Xi masih diam. Keringat mulai terlihat di
keningnya. Ini mungkin memang jawabannya. Ia tidak mencintaiku. Seharusnya
sejak dulu aku menanyakan hal ini.
“Dui bu qi
(Maaf). Selama ini aku telah memaksakan kehendakku. Aku mengajakmu pacaran, aku
yang mengambil keputusan selama ini tanpa peduli bagaimana perasaanmu. Kupikir
kau juga mencintaiku. Ternyata aku yang bodoh.”
…
“Wo men fen
shou, ba.. (Kita putus saja..)” kataku lirih setelah jeda beberapa saat. “Maaf
sudah menyita waktumu selama dua tahun ini.” Dan bersamaan dengan itu, air
mataku menggenang dan jatuh. Aku pun membalikkan tubuhku dan melangkah pergi.
Aku berharap Zheng Xi mengejarku, menarikku ke
dalam pelukannya, dan berkata bahwa ia tidak bermaksud menyakitiku, bahwa ia
sebenarnya mencintaiku, dan ia ingin menikah denganku. Tapi lagi-lagi hanya aku
yang berpikir terlalu banyak. Zheng Xi tidak mengejarku. Bahkan sekedar
memanggil namaku pun tidak. Aku sungguh kecewa. Aku telah menyia-nyiakan
waktuku dan Zheng Xi dengan hubungan yang memang seharusnya tidak pernah
terjalin.
***
“Ni men fen
shou?! Zen me hui! (Kalian putus? Bagaimana bisa!)”
“Ha ha.. Hao
ke xiao, shi ba? (Lucu kan?)”
“Yi dian dou
bu ke xiao (Sama sekali tidak lucu)! Dui
bu qi (Maaf), aku tidak tahu kau sedang sedih, aku malah asyik bercerita
tentang pacarku.”
“Mei guan xi
la, ni kai xin, wo ye kai xin (Tidak apa apa, kau senang, aku pun ikut
senang).” Kataku dengan lirih. Tapi sungguh, aku ikut bahagia jika sahabatku
ini bahagia.
“Ni shuo, wei
shen me? Ni bu shi shuo ni yao gen ta
jie hun ma? (Katakan, kenapa? Bukankah kau bilang ingin mengajaknya menikah?)”
“Ta bu ai wo.
Wo hai neng shuo shen me ne? (Dia tidak mencintaiku. Apa lagi yang bisa
kukatakan?)” kataku sambil menarik nafas
panjang. Air mata kembali menggenang di pelupuk mataku.
Hari sudah semakin larut. Sudah satu setengah jam
berlalu sejak aku meninggalkan Zheng Xi di jembatan dan pulang ke rumah. Aku
yang sedih dan butuh tempat curhat pun segera menelepon Xiao You. Ternyata hari
ini Xiao You sedang bergembira karena mendapat kejutan dari pacarnya sehingga ia
langsung bercerita panjang lebar bergitu aku meneleponnya. Aku pun terpaksa
menunda untuk menceritakan kesedihanku hari ini. Sementara kami berbincang di
telepon, hujan mulai turun deras di luar sana. Petir mulai bersahutan. Langit
malam ini sepertinya mengerti kesedihanku dan turut menangis.
“Ta zhen de
bu ai ni? Ni zen me zhi dao? Ta gen ni shuo ma? (Dia benar-benar
tidak mencintaimu? Bagaimana kau tahu? Apa dia mengatakannya padamu?)”
“Bu yong
shuo, wo jiu zhi dao le. Ta cong lai
gen ben bu ai wo. (Tidak perlu dikatakan, aku sudah tahu. Dia selama ini
memang tidak mencintaiku.)”
“Dan shi, yi
qian ta shuo ta xi huan ni ya. Ru guo bu xi huan, wei shen me ta yuan yi cheng
wei ni de nan peng you ne? (Tapi dulu dia bilang menyukaimu. Jika tidak
suka, kenapa dia mau menjadi pacarmu?)”
“Ta xi huan
wo. Bu shi ai. Ru guo ta ai wo, ta yi ding hui da ying gen wo jie hun. Wo xiang
xiang, cong lai ta mei you shuo guo ai wo de hua. (Dia menyukaiku. Bukan
cinta. Jika dia mencintaiku, dia pasti menyetujui ajakanku untuk menikah. Setelah
dipikir-pikir selama ini dia tidak pernah mengatakan cinta padaku.)” Aku
tertawa getir.
“Li Xue.. Ni
bi xu nai xin. Wo xiang xin, you yi
tian, ni neng zhao dao geng hao geng hao de nan sheng. (Kau harus bersabar.
Aku percaya, suatu hari nanti kau bisa menemukan pria yang lebih baik.) Pria
yang bisa kau jadikan sandaran, yang bisa kau andalkan, dan mencintaimu
selamanya. Ni bu yao zai nan guo, hao ma?
(Kau jangan bersedih lagi, oke?)”
Aku menghapus air mataku.
“En..”
aku menyanggupinya, walaupun aku tau akan sulit rasanya untuk tidak bersedih.
“Li Xue, sudah satu jam kita berbincang di telepon.
Ini sudah malam, sebaiknya kau tidur. Istirahatlah, jangan terlalu dipikirkan.
Putus cinta adalah hal yang wajar.”
“Entahlah apa aku bisa tidur atau tidak.”
“Kau harus bisa! Aku tidur dulu ya, sampai jumpa
besok.”
“Ya. Sampai jumpa besok. Terima kasih sudah mau
kutelepon malam-malam.”
“Mei you wen
ti la. Bu yao ke qi. Wo men shi hao peng you ma. (Tidak
masalah. Jangan sungkan. Kita kan sahabat.)”
Aku tersenyum kecil. “Baiklah. Wan an (Selamat malam).”
“Ya, wan an,
Li Xue.”
Telepon terputus. Suasana mendadak sunyi. Hanya
terdengar suara hujan yang sangat deras di luar sana. Aku kembali menghela
nafas panjang. Suasana sunyi ini mulai menyiksaku.
“Yue xiang
kan de jian, yue kan bu jian
Yue xiang kao xin
li jin yi dian, yue zou de yao yuan..
Yue shi qian shan
wan shui, yue xiang yong li qu zhui…
Wo de meng he shi neng bu luo kong..
Ni shi fou hui zai
xia ge lu kou.”
Dengan malas aku mengambil ponselku yang berdering dan
mataku seketika terbelalak melihat siapa yang meneleponku. Zheng Xi? Untuk apa
lagi ia meneleponku?
“Wei..” aku
menjawab dengan nada dingin.
Terdengar suara berisik di seberang telepon. Di
mana Zheng Xi berada sekarang? Apa ia sedang di luar rumah? Bukankah di luar
sedang hujan?
Suara desahan nafas terdengar.
“Wei?
Zheng Xi?” aku mulai panik.
“…”
“Zheng Xi? Ni
zai na’r?”
“Li.. Li Xue..” akhirnya suara Zheng Xi terdengar,
meskipun hampir kalah dengan suara berisik dari sekelilingnya. “Bu.. Buka
pintu. Kumohon..”
“Hah? Wei?
Zheng Xi? Kau di mana?”
“Bu.. Buka pintu. Aku ada di depan wisma.”
Aku segera membanting ponselku begitu otakku bisa
mencerna ucapan Zheng Xi. Zheng Xi ada di depan wisma? Aku pun berlari keluar
kamar setelah mengambil payung dan kunci gembok, kemudian dengan cepat menuruni
tangga menuju gerbang depan. Satpam tidak terlihat di pos nya, entah ke mana.
Aku mulai kesal dengan kinerja keamanan di wisma tempatku tinggal.
Aku membuka payung begitu sampai di lantai bawah
dan kakiku menjadi lemas seketika melihat Zheng Xi berdiri di depan gerbang
sambil menggigil kedinginan. Sudah berapa lama ia berada di luar? Mengapa ia
ada di sini? Begitu banyak pertanyaan yang melintas dalam otakku. Namun aku
berusaha mengabaikannya. Dengan cepat aku membuka gembok dan gerbang
wisma. Kupayungi Zheng Xi. Ia tersenyum melihatku.
Bodoh! Dalam keadaan begini ia masih bisa
tersenyum.
“Zheng Xi! Ni
shi sha gua ya (Kau bodoh ya)? Kenapa kau bisa ada di sini? Masuklah. Hari
ini menginap saja di tempatku.”
“Tidak.” Zheng Xi menarik tangannya saat aku hendak
menariknya masuk ke dalam wisma.
“Zheng Xi! Kau bisa sakit jika berada di luar. Aku
tahu, kau tidak sudi menginjak kamarku lagi. Aku tahu kau tidak mau berada di
dekatku lagi. Tapi kumohon, masuklah.”
“Aku sudah mengumpulkan semua keberanianku. Jadi
sebelum keberanianku surut, aku ingin menyelesaikannya sekarang.” Kata Zheng Xi
dengan sedikit gemetar.
“Keberanian apa? Kau bisa mengatakannya di dalam.”
“Bu xing (tidak
bisa).”
“Kenapa tidak bisa? Kumohon, masuk ke dalam. Aku
tidak ingin kau sakit. Keringkan badanmu dulu. Apa yang ingin kau bicarakan,
bisa kita bicarakan di dalam. Ayo!”
Aku kembali menarik tangan Zheng Xi. Namun ia masih
bergeming. Sedetik kemudian Zheng Xi malah menarik tanganku dan memelukku
dengan erat. Bajunya yang basah mengenai bajuku. Seketika tangan dan kakiku
menjadi lemas. Payung yang kupegang terjatuh dan dengan cepat hujan membasahi
seluruh tubuhku. Tapi aku tidak peduli. Yang ada di pikiranku saat ini adalah
ketidakpercayaanku pada apa yang sedang terjadi.
Zheng Xi memelukku! Dia memelukku dengan erat!
Meskipun hujan membasahi tubuhku, tapi entah mengapa aku justru merasa hangat.
Dan kehangatan ini menjalar ke seluruh tubuhku, terutama hatiku.
“Zheng.. Zheng Xi.” Aku memanggilnya dengan lirih
dari balik bahunya. “Ke.. Kenapa..”
“Wo ai ni(Aku
mencintaimu), Li Xue.”
Kalimat itu memang terdengar lemah, tapi aku yakin
aku tidak salah mendengar. Ucapan itu terasa begitu dekat di telingaku.
“Aku mencintaimu.” Zheng Xi mengulang ucapannya,
membuatku semakin yakin bahwa aku memang tidak salah dengar. “Aku tau aku
selama ini bodoh, membebanimu dengan sikap pengecutku. Aku membiarkanmu
sendirian mengayuh perahu kita. Aku pengecut karena tidak dapat mengutarakan
pendapatku selama ini. Aku.. Aku bahagia bisa bersamamu selama dua tahun ini.
Dan aku tentu bahagia saat kau mengajakku menikah denganku tadi, tapi juga
sekaligus sedih dan marah. Seharusnya akulah yang mengucapkan kalimat itu,
bukan kau. Tapi aku terlalu pengecut untuk sekedar mengatakan isi hatiku,
sehingga kau pergi meninggalkanku. Aku telah membiarkanmu berpikir bahwa aku
tidak mencintaimu. Aku.. Aku mencintaimu, Li Xue. Sungguh. Maafkan aku karena
tidak pernah mengatakannya. Saat kau pergi tadi, aku tersadar. Aku sadar bahwa
aku salah selama ini. Aku tidak bisa kehilanganmu hanya karena sifatku ini.”
Ya, Tuhan, ini kalimat terpanjang yang pernah Zheng
Xi ucapkan selama aku mengenalnya. Sekarang justru aku yang dibuat tak mampu
berkata-kata oleh Zheng Xi. Aku terlalu hanyut dalam setiap kata yang
diucapkannya.
Perlahan Zheng Xi melepaskan pelukannya. Wajahnya
kini tampak semakin pucat dan gemetar. Aku sungguh tidak tega melihatnya.
“Zheng Xi,
masuklah. Kumohon. Kau sudah mengucapkan apa yang ingin kau ucapkan.” Kataku
lirih.
Zheng Xi mengangguk. Aku pun tersenyum, kemudian
mengambil payung dan menarik Zheng Xi masuk ke dalam wisma.
“Mandilah. Aku akan menyiapkan coklat hangat dan
selimut untukmu.” Kataku setelah memberikan handuk, kaos besar, dan celana rumah milikku untuk
Zheng Xi. Zheng Xi mengangguk sambil tersenyum dan masuk ke dalam kamar mandi. Hatiku
menghangat kembali. Ini juga pertama kalinya Zheng Xi mandi di wisma-ku.
Setelah mengambil selimut dan meletakkanya di sofa
ruang tamu, aku segera menyiapkan segelas coklat hangat untuknya. Sembari
menunggu Zheng Xi selesai mandi, aku merenungkan ucapannya tadi sambil
mengeringkan rambutku sendiri dengan handuk. Zheng Xi mencintaiku. Sungguh aku
sangat bahagia dengan pengakuannya. Ternyata aku tidak bertepuk sebelah tangan.
Begitu mendengar suara pintu kamar mandi terbuka,
aku segera menghampiri Zheng Xi dan menyuruhnya duduk di sofa. Aku pun
mengambil coklat hangat yang telah kubuat dan kutaruh di atas meja dekat sofa.
“Minumlah.” Kataku.
“Xie xie (terima
kasih).”
Aku tersenyum dan duduk di sebelahnya, memandangi Zheng
Xi yang sedang meneguk coklatnya. Aku memang sering mengamati wajah Zheng Xi.
Bagaimana bentuk rahangnya yang tegas, mata coklatnya yang teduh dengan
kacamata yang membingkai, hidungnya yang mancung, dan bibir penuh yang indah.
Dengan balutan kaos milikku yang ternyata sedikit ketat, membuat badannya yang
bidang terlihat sangat kokoh. Aku sendiri masih tidak menyangka, pria segagah Zheng
Xi bisa memiliki sifat yang sangat pemalu.
“Kau istirahatlah.” Kataku setelah Zheng Xi
menghabiskan coklatnya. Aku pun beranjak dari sofa, hendak masuk ke dalam kamar
dan tidur. Tapi Zheng Xi menahanku sehingga aku kembali duduk di sofa.
“Zen me le
(Kenapa)?” tanyaku.
Zheng Xi tidak menjawab. Ia merogoh kantong celana
milikku yang sedang dipakainya, kemudian mengeluarkan sebuah kotak beludru
berwarna merah yang basah.
“Li.. Li Xue.. Kau tahu? Aku selalu membawa kotak
ini ke manapun aku pergi. Tapi hari ini aku lupa membawanya. Karena itulah aku
sangat terkejut dengan ucapanmu di jembatan tadi.”
Aku menatapnya dengan bingung. Zheng Xi menarik
nafas kemudian melanjutkan ucapannya.
“Sebenarnya.. Saat itu juga aku ingin menghentikan
ucapanmu dan mengatakan hal yang seharusnya akulah yang mengucapkannya. Tapi
aku… Aku tidak bisa mengucapkannya tanpa kotak ini.”
Jantungku mulai berdetak kencang. Apa ini? Apa Zheng
Xi mau melamarku? Tidak mungkin, kan?
“Makanya aku tidak menahanmu saat kau pergi. Aku
malah berlari pulang untuk mengambil kotak ini, dan menuju wisma-mu. Aku tidak
peduli hujan deras dan petir menyambar. Yang ada di pikiranku tadi adalah aku
tidak mau semuanya berakhir. Aku tidak ingin berpisah denganmu. Aku sudah
berulang kali mengetuk gerbang tapi tidak ada yang membukanya. Aku mencoba
meneleponmu berulang-ulang tapi selalu nada sibuk.”
Aku pun teringat bahwa tadi aku memang berbincang
dengan Xiao You di telepon selama satu jam. Dan selama itu pula Zheng Xi
menungguku di bawah. Aku benar-benar terkejut dan menutup mulutku dengan kedua
tanganku. Aku begitu jahat, membiarkan Zheng Xi menunggu di luar selama itu!
Zheng Xi bisa saja sakit karena kedinginan.
Air mata mulai menggenang. Aku tidak tahu Zheng Xi
bisa berbuat sejauh itu.
“Bu shi ni de
cuo (Bukan salahmu)..” Zheng Xi berkata sambil menyeka air mataku yang
mengalir. “Aku yang bodoh.” Lanjutnya.
Aku menggeleng. Zheng Xi sama sekali tidak bodoh.
Perbuatannya itu sukses membuat hatiku lumpuh.
Zheng Xi tersenyum lembut, senyuman yang selalu aku
suka. Ia pun membuka kotak beludru itu dan tampaklah sebuah cincin yang sangat
cantik, dengan berlian berbentuk bintang di atasnya. Bintang. Objek favoritku.
“Li.. Li Xue..” katanya masih dengan malu-malu. Aku
tersenyum kecil melihatnya. “Ni yuan yi..
jia gei wo ma (Apa kau bersedia
menikah denganku)?”
Meskipun aku sudah tahu apa yang ingin dikatakan
Zheng Xi, tapi aku masih merasa takjub. Seorang Zheng Xi yang tidak pernah
mengungkapkan isi hatinya, kini mengajakku menikah. Keberanian Zheng Xi ini
sungguh membuatku terharu.
“Wo yuan yi (Aku
bersedia).” Kataku tanpa keraguan sama sekali.
Mata Zheng Xi berbinar cerah. Ia pun memakaikan
cincin pemberiannya di jari manisku. Aku tersenyum senang.
“Li Xue, cong
jin tian kai shi (mulai hari ini), biarkan aku yang mendayung perahu kita.”
Kata Zheng Xi dengan lembut.
Aku menggeleng kuat. “Zheng Xi, kita akan
mendayungnya bersama.” Kataku, membuat mata Zheng Xi semakin bersinar. Aku pun
memeluk Zheng Xi. Tubuh Zheng Xi sempat menegang karena kupeluk dengan
tiba-tiba, tapi kemudian ia balas memelukku.
“Ya, kita akan mendayungnya bersama.” Zheng Xi
mengulangi ucapanku. Kemudian dengan sebuah kalimat lanjutan yang membuatku
kian melayang, “Wo ai ni, Li Xue.”
Aku mengangguk. “Wo ye ai ni (aku juga mencintaimu).” Kataku kemudian semakin
membenamkan kepalaku di dada Zheng Xi. Menghirup aroma tubuhnya yang
menenangkanku, yang kini sedikit bercampur dengan sabun mandiku. Aku bahagia.