Thursday, October 24, 2013

7 Days Love Story

Sekolah SMA Bunda Kasih sudah terlihat sepi. Langit memang sudah mulai gelap. Lapangan parkir sudah lengang, hanya tersisa 3 mobil yang terparkir manis, menunggu sang pemilik datang dan membawanya pulang ke rumah. Namun di parkiran tidak hanya mobil saja yang terparkir manis. Seorang siswi SMA yang pastinya adalah murid sekolah itu tampak duduk manis di bangku yang terletak di pinggir lapangan. Sambil sesekali melihat jam tangannya dan melihat ke dalam gedung sekolah, seakan sedang menunggu seseorang.
Sementara itu dari kejauhan, tampak segerombol siswa yang sedang melangkah menuju gerbang depan sekolah sambil tertawa dan bercanda ria. Siswi yang sedari tadi menunggu pun mulai memasang senyum gembira. Ia mengambil tas di sampingnya dan menyampirkannya ke bahu lalu berdiri. Gerombolan siswa itu mulai mendekat.
“Hai, Dew.. Setia nih ye nunggu Yayang Adit.” Celetuk salah satu dari gerombolan itu. Yang diajak bicara hanya tersenyum ramah. Kemudian seorang siswa yang tak lain adalah Adit, mendahului langkah teman-temannya dan menghampiri siswi tersebut yang ternyata bernama Dewi, diiringi siulan teman-temannya.
“Kok belum pulang, Dew? Kan aku udah bilang pulang duluan aja, udah sore begini.”
Sekali lagi Dewi tersenyum manis. “Gak apa-apa kok. Aku cuma mau nunggu kamu aja. Biar bisa pulang bareng. Boleh kan?”
Adit tersenyum simpul, seperti senyum yang agak dipaksa. “Tentu boleh. Tapi kan aku gak enak sama kamu. Aku rapat sampai sore begini. Lain kali gak usah nunggu ya kalau aku rapat. Aku gak mau kamu kecapean.”
Dewi lagi-lagi tersenyum, kali ini dengan ekspresi malu-malu senang. Ternyata Adit begitu memperhatikannya.
“Duluan ya, Dit, Dew, jangan kelamaan pacaran, nanti dicariin Mama.” Lagi-lagi celetukan salah satu siswa terdengar diiringi tawa semua gerombolan itu. Adit dan Dewi hanya melambaikan tangan dan berpaling lagi pada Dewi.
“Iya deh, cuma sekali ini aja kok aku nungguin kamu. Makasih ya udah perhatian sama aku.”
“Yuk pulang.” Adit perlahan menggandeng tangan Dewi. Dewi sendiri terkejut sesaat namun kemudian tersenyum senang. Pipinya merona merah. Ia merasa ingin selamanya menggandeng tangan Adit.
Adit dan Dewi. Baru kemarin mereka jadian. Dewi adalah siswi kelas satu SMA yang kelasnya bersebelahan dengan kelas Adit yang ternyata sudah menginjak kelas tiga SMA. Dewi mulai menyukai Adit saat MOS berlangsung. Adit adalah kakak pembimbing di kelasnya. Adit berbeda dengan kakak kelas yang lain. Adit baik, tidak pernah marah apalagi membentak juniornya, sabar, dan bersahabat. Bila ada yang melanggar aturan, Adit hanya memberinya sedikit teguran dan hukuman yang ringan. Dewi menyukai senyuman Adit yang mempesona, yang mampu membuatnya ikut tersenyum.
Dewi tetap menyukai Adit walaupun MOS telah berakhir. Banyak siswa baru yang berwajah tampan di kelasnya, namun tak satupun yang mampu menggantikan Adit di mata Dewi. Baginya, Adit-lah sosok yang paling sempurna, lagipula Adit adalah kakak kelasnya, pastinya lebih dewasa dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya. Diam-diam Dewi sering memperhatikan Adit. Dewi selalu menunggu Adit lewat di depan kelasnya saat istirahat tiba hanya untuk memandang wajahnya. Dewi pun tak segan-segan mengikuti Adit diam-diam ke kantin dan mencari tau makanan apa yang dibeli Adit di sana. Dewi sendiri pura-pura membeli minuman dan duduk di belakang meja yang Adit untuk menikmati pemandangan indah di hadapannya, walaupun yang terlihat hanya punggungnya saja yang sesekali bergetar karena tawa yang ia keluarkan bersama teman-temannya. Dewi sampai hafal kebiasaan Adit, keluar kelas lima menit setelah bel istirahat berbunyi, ke kantin, lalu membeli semangkuk soto ayam juga jus tomat. Dewi mulai menyukai jus tomat sejak saat itu.
“Cewek di belakang kayaknya ngeliatin lo mulu, Dit.” Kata teman Adit yang sedang makan di kantin bersama Adit suatu hari. Dewi hampir tersedak mendengarnya dan berpura-pura sibuk dengan HP-nya dan menikmati jus tomat di hadapannya. Adit menoleh, membuat jantung Dewi semakin berdebar tidak keruan. Itu pertama kalinya Adit memandangnya. Dewi senang tapi pura-pura tidak tau. Begitu Adit kembali pada posisinya, Dewi menarik nafas lega lalu dengan cepat minggat dari tempat itu.
Lalu entah ada angin apa, suatu hari saat pulang sekolah, Dewi yang sedang melangkah keluar gedung sekolah melihat sosok Adit dari kejauhan sedang berdiri bersandar pada pos satpam. Tangannya dimasukkan ke dalam saku dan ia menatap sepatunya dengan ekspresi datar. Dewi terpesona dengan gaya Adit yang seperti itu. Ingin sekali ia mengeluarkan ponselnya dan memotret, mengabadikan gaya Adit itu. Dewi pun dengan gugup terus berjalan. Ia pura-pura tidak melihat Adit ada di sana. Lalu saat sudah mendekati Adit, Dewi mempercepat langkahnya dan menatap lurus ke depan. Ia pun berhasil melewati Adit dan bernafas lega.
“Dewi!” Kelegaan Dewi musnah. Jantungnya mulai berdebar lagi, kali ini jauh lebih kencang. Apa ia tidak salah dengar? Bukankah itu suara Adit? Adit memanggilnya? Ah, tidak mungkin, pikir Dewi. Pasti ada salah satu temannya yang suaranya mirip dengan Adit. Dengan gugup Dewi menoleh, mencari temannya yang mungkin memanggilnya tadi.
“Hei, aku yang memanggilmu.” Adit berkata, membuat Dewi ingin pingsan. Adit memanggilnya? Adit tau namanya? Tak urung Dewi merasa sangat senang. Tapi ia masih ingin jual mahal, malu kan kalau ternyata bukan ia yang dimaksud? Dewi menoleh ke belakang, memastikan bahwa memang dirinyalah yang dipanggil.
“Iya, kamu. Hanya satu Dewi yang aku kenal.” Kata Adit. Dewi pun tersenyum ramah, walau dalam hatinya ia ingin tersenyum lebih lebar. Dewi pun menghampiri Adit, tak mampu menyembunyikan kegugupannya.
“Kak.. Kak Adit manggil saya? Ada apa?”
“Pulang bareng yuk.” Kata Adit enteng.
WHAT?! Pulang bareng? Mimpi apa Dewi semalam? Ia bisa mendapat durian runtuh hari ini. Adit mengajaknya pulang bersama? Kok bisa? Adit mengenalnya?
“Tapi..” Dewi masih berusaha menjaga gengsi.
“Ayolah. Jarang-jarang nih aku ngajak cewe pulang bareng.”
Dewi tersenyum sumringah. “Boleh deh.” Katanya dengan nada yang dipelankan supaya tidak terdengar begitu gembira.
Adit pun mengantar Dewi ke mobilnya dan mengantar Dewi pulang. Banyak yang mereka bicarakan di dalam mobil, namun hanya sekedar obrolan biasa antara sesama murid SMA Bunda Kasih, pelajaran di sekolah, guru yang menyebalkan dan mengasyikkan, teman-teman yang rese, sampai kegiatan ekstrakulikuler. Dari situ Dewi tau ternyata Adit ikut ekskul basket, tapi sejak kelas tiga SMA, Adit sudah undur diri karena begitulah peraturan dari sekolah mereka.
“Sudah sampai.” Kata Adit begitu mereka sampai di depan rumah Dewi.
“Terima kasih ya, Kak.” Dengan berat hati Dewi membuka pintu mobil.
“Dewi..” Adit memanggilnya lagi. Dewi menghentikan gerakannya dan menoleh pada Adit. “Besok aku jemput, boleh?”
Bagai ditaburi bunga-bunga dalam hatinya, Dewi semakin tidak percaya dengan omongan Adit barusan. Namun dengan cepat Dewi mengangguk.
“Thanks ya. Kamu asyik diajak ngobrol. Aku suka.”
SUKA?! Apa artinya kalimat terakhir Adit itu? Sebuah pernyataan kah? Adit menyukainya? Tapi Dewi tak ingin cepat-cepat mengambil kesimpulan dan terlalu gembira. Mungkin saja yang dimaksud Adit adalah ia menyukai sifat Dewi yang enak diajak ngobrol, bukan menyukai dirinya dalam arti yang lebih jauh. Dewi pun hanya tersenyum kecil dan keluar dari mobil, lalu menunggu mobil Adit melaju dan menghilang di belokan.
***
“Aku suka padamu.” Kalimat itu terlontar dengan mudahnya dari mulut Adit, seakan Adit sudah berpengalaman dalam mengungkapkan isi hatinya. Dewi yang mendengar hal itu langsung bengong dan tidak jadi menyuapi nasi goreng yang tinggal setengah senti lagi dari mulutnya.
“Aku suka padamu, Dewi.” Adit mengucapkannya lagi karena ia tidak mendapat respon dari Dewi. Dewi masih saja diam. Lalu sendok di tangannya jatuh begitu saja, membuat Adit terkejut, begitu pula Dewi.
“Eh, sori..” Dewi membereskan nasi yang terlempar keluar piring dengan tisu. “Kau bilang apa? Suka? Sama aku?” Dewi salah tingkah, masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Ya, aku suka. Kau menyukaiku kan?”
“Kau.. Kau tau?”
“Terlihat jelas, Dewi. Aku menyukaimu. Aku menyukai tingkahmu yang malu-malu itu. Tapi aku juga menyukaimu saat kau bersikap apa adanya, tidak ditutup-tutupi dengan gengsi. Aku suka.”
Seketika itu juga wajah Dewi memerah. Segitu jelaskah sikapnya selama ini?
“Kau mau jadi pacarku?”
Dewi mengangguk sambil menunduk malu. Akhirnya ia dan Adit berpacaran. Dewi tidak menyangka cintanya kali ini akan terbalas.
***
Dewi menunggu di depan kelas Adit. Sudah lima belas menit setelah pulang sekolah, tapi kelas Adit belum juga bubar. Mungkin karena guru Sejarah tersebut masih betah memberikan pengetahuannya kepada murid-murid. Dewi mengintip sedikit, dilihatnya Adit tengah menguap. Lucunya! Tanpa sadar Dewi tersenyum.
Akhirnya lima menit kemudian guru Sejarah itu membubarkan kelas. Seisi kelas langsung berhamburan keluar. Dewi melihat Adit masih membereskan bukunya saat kelas itu sudah hampir kosong. Dewi masuk ke dalam kelas dan menghampiri Adit.
“Hai, Dit.” Dewi menyapanya dengan ceria.
Adit menoleh dan sedikit terkejut dengan kedatangan Dewi. Sempat ia melirik teman-temannya di meja belakang lalu tersenyum pada Dewi. Dewi ikut melirik ke arah teman-teman Adit. Ada tiga orang siswi perempuan di meja belakang, mungkin satu geng, karena mereka terlihat kompak dengan gaya nyentriknya. Salah satu siswi itu menatap Dewi dan tersenyum memaksa, Dewi membalasnya. Sedangkan yang lainnya menatap Dewi dengan sinis, begitulah yang Dewi rasakan. Mungkin mereka sebal karena ada adik kelas yang masuk kelas senior seenaknya. Tapi Dewi tidak terlalu peduli.
“Pulang bareng?” Adit bertanya yang langsung disusul dengan anggukan manis oleh Dewi. Adit pun menyelesaikan beres-beresnya dan merangkul Dewi sambil mengajaknya keluar kelas. Ini perkembangan yang drastis. Adit merangkulnya! Dewi senang. Ia tidak bisa berhenti tersenyum.
***
Tidak seperti pasangan lain, Adit tidak pernah menelepon Dewi. Biasanya pasangan yang baru saja jadian akan saling menelepon setiap malam hingga berjam-jam. Ini sudah hari keempat, tapi Adit belum juga mulai menelepon. Padahal Dewi sudah kangen berat sama Adit. Di sekolah ia hanya bisa bertemu dengan Adit di jam istirahat dan pulang sekolah. Akhirnya karena tidak bisa lagi menahan rasa rindunya, Dewi mengambil inisiatif. Ia akan menelepon duluan, tidak peduli bila Adit akan menganggapnya agresif.
Halo, Dew, kenapa?
“Hai, Dit. Lagi sibuk?”
Hm.. Lumayan. Kenapa?
“Aku kangen.”
Oh.” Hanya itu resppon Adit. Dewi agak kecewa.
“Kau tidak kangen padaku?”
Iya, aku juga kangen.”
Diam. Adit terdengar canggung di telepon. Bukan Adit yang ceria seperti di sekolah. Apa benar Adit kangen padanya?
“Kau sibuk ya. Kalau begitu maaf aku mengganggu. Aku tutup teleponnya ya. Sampai jumpa besok.”
Ya. Bye.
Telepon terputus. Ada rasa sedih dan kecewa yang dalam di hati Dewi. Benar-benar percakapan yang singkat dan tak berarti. Dewi menaruh ponselnya di meja dan membenamkan wajahnya di atas bantal. Hatinya mulai tak tenang. Seperti ada sesuatu yang mengganggu.
***
“Mantannya Adit?” Dewi terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh teman sebangkunya, Sarah.
“Iya, kau kenal dia tidak?”
“Aku saja tidak tau Adit punya mantan pacar. Anak mana?”
“Anak sini! Sekelas dengan Adit.”
“SEKELAS???!!!”
“Yap. Kakakku kan juga sekelas dengan Adit. Aku tau dari dia. Katanya dia baru putus dengan Adit sebulan yang lalu.”
“SEBULAN? Kau yakin? Tapi..”
“Aku tau, Dew, kau dan Adit baru jadian lima hari yang lalu. Itu berarti Adit menyatakan perasaannya padamu 1 bulan setelah dia putus. Hmm.. Maaf sebelumnya, Dew, tapi.. Apa kau tidak merasa aneh?”
“Maksudmu? Kau ingin bilang kalau aku ini hanya pelarian?”
“Hm.. Bukan begitu, hanya saja…”
“Stop, Sarah. Aku tidak ingin mendengar omonganmu. Aku percaya pada Adit. Adit bukan orang seperti itu. Aku bisa melihatnya.”
Sarah hanya bisa diam dan tidak berkomentar apa-apa. Tapi ia yakin firasatnya benar.
***
“Dewi!” Adit memanggil Dewi dan menghampirinya.
“Adit? Hai..”
“Kau tidak menungguku di depan kelas?”
“Eh? Iya, kupikir ingin langsung pulang saja karena kau bilang ada rapat.”
“Oh, kau mau pulang? Kau sudah makan?”
“Sudah. Kau?”
“Aku juga. Kalau memang kau mau pulang, hati-hati ya.”
Adit membelai rambut Dewi dengan sayang. Dewi tersenyum. Ia bahagia. Semua yang dikatakan Sarah salah. Adit begitu menyayangi Dewi. Ia tak mungkin menjadikan Dewi sebagai pelarian. Buktinya, Adit terlihat kecewa saat Dewi tidak menunggunya di depan kelas, juga sikap-sikap Adit yang perhatian pada Dewi seperti saat ini. Dewi yakin Adit benar-benar mencintainya.
“Ya. Kau juga jangan sampai kelelahan, banyak minum dan jangan terlambat makan. Aku tidak ingin kau sakit.”
“Iya, Sayang. Makasih ya.”
Tuh kan! Adit memanggilnya sayang!
Adit dan Dewi pun berpisah. Dewi melangkah keluar gerbang dengan senyum mengembang.
“Dewi!” seorang siswi memanggilnya. Dewi menoleh. Dilihatnya seorang siswi berjalan ke arahnya tanpa ekspresi. Dewi mengernyitkan dahinya. Ia tidak mengenal gadis itu. Eh tapi.. Sepertinya wajahnya pernah dilihat Dewi. Di mana ya? Dewi terus mengingat dan akhirnya ia ingat bahwa gadis itu adalah teman sekelas Adit yang waktu itu tersenyum padanya saat ia masuk ke kelas Adit.
“Ya?” Dewi agak takut menjawabnya. Jangan-jangan ia akan dilabrak karena waktu itu berani masuk ke kelas senior. Atau jangan-jangan gadis ini adalah salah satu penggemar Adit. Gawat!
“Kau Dewi kan?” Dewi mengangguk. “Aku ingin bicara. Bisa?” Dewi mengangguk lagi. Gadis itu lalu berjalan mendahului Dewi, Dewi mengikutinya dan sampailah mereka di halaman belakang sekolah dan duduk di salah satu bangku. Diam sejenak.
“Kau mengenalku?” gadis itu bertanya. Dewi menggeleng cepat.
“Tapi aku tau kakak sekelas dengan Adit.”
“Aku mantan pacar Adit.” Tanpa basa-basi gadis itu berbicara. “Namaku Clara.”
Oh, Tuhan! Mantan pacar Adit?!
“Y.. Ya.. Aku.. Pernah mendengarnya.”
“Aku baru putus dengan Adit sebulan yang lalu.” Dewi tidak terkejut karena sudah mendengarnya dari Sarah. Namun yang ia takutkan, apakah Clara akan menyuruhnya menjauhi Adit seperti di film-film?
“Aku senang Adit sudah memiliki pacar baru. Selamat ya. Kau beruntung mendapatkannya.” Dewi tersenyum. Ternyata Clara adalah orang yang baik. “Dia pasti sangat memperhatikanmu, meneleponmu setiap malam dan memberikan kejutan-kejutan kecil setiap hari. Juga selalu menomorsatukan dirimu dibanding tugas-tugas sekolah. Dasar bodoh si Adit itu.” Clara tersenyum pahit.
Dewi menggeleng. “Tidak. Ia tidak pernah menelepon dan memberiku kejutan kecil. Yah.. Mungkin baru awal pacaran, jadi dia masih malu.”
“Benarkah?!” Clara terlihat sangat terkejut. “Itu tidak mungkin. Dulu saat kami baru pacaran, dia sudah memperlakukanku seperti itu. Katanya ia pasti akan melakukan hal itu kalau ia memang benar-benar mencintai seseorang.”
Dewi terkejut. Benarkah yang dikatakan Clara? Kalau begitu apakah mungkin…
“Maaf, Dew, aku tidak bermaksud..”
“Tidak apa-apa.” Dewi berusaha terlihat tenang. Tapi matanya mulai berkaca-kaca. “Apa aku boleh tau kenapa kalian putus?” Entah mengapa Dewi ingin mengetahuinya. Ia sedikit menyesal karena jawaban Clara mungkin akan menyakitinya, tapi Dewi tidak peduli, ia ingin tau kebenarannya.
Diam sejenak.
“Aku mencintai Adit.” Clara mulai bercerita. “Hm.. Aku memberitaumu bukan karena aku ingin kau menjauhinya.” Dewi mengangguk mengerti. “Kami berpisah karena ada kesalahpahaman. Waktu itu aku bertemu dengan mantan pacarku, maksudku.. sebelum Adit. Kami bertemu dan berbincang-bincang banyak karena sudah lama tidak bertemu. Tapi saat kami akan berpisah, mantanku mengatakan bahwa ia masih mencintaiku dan ingin aku kembali. Lalu ia mencium keningku.” Mata Clara mulai berkaca-kaca. “Sialnya Adit melihat itu semua. Ia pergi dan mendiamkanku selama berhari-hari. Aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan. Tiba-tiba saja sebulan yang lalu ia mendatangiku dan menyatakan ingin berpisah. Adit lagi-lagi tidak mau mendengar ketika aku ingin menjelaskannya. Jadi aku hanya bisa menerima keputusannya.”
“Aku senang Adit telah menemukan seseorang yang ia cintai sekarang. Aku harap kau dan Adit bisa terus bersama. Kalau Adit bahagia, aku juga akan tenang. Kulihat tadi kalian sangat mesra. Adit pasti sangat menyayangimu.” Clara melanjutkan. Dewi tertegun, seperti baru saja disiram air dingin. Ia sedih, kecewa, dan marah. Kini sepertinya ia mulai mengerti situasinya. Mungkinkah tadi Adit tau bahwa ada Clara di dekat mereka? Jadi ia sengaja bersikap mesra pada Dewi. Lagipula saat Dewi mendatangi Adit di kelas, Adit seperti terkejut dan melirik ke arah Clara. Ya, tidak salah lagi! Sarah benar, Dewi mungkin hanya dijadikan pelarian, dan hanya ada satu cara untuk membuktikannya.
“Kak, aku permisi dulu. Aku buru-buru.” Dewi langsung pergi meninggalkan Clara. Ia sudah tidak sanggup menahan air matanya. Ia berlari keluar sekolah sambil menangis. Tapi Dewi bukan pulang ke rumah, ia pergi ke rumah Adit. Beberapa hari yang lalu ia pernah menanyakan alamat rumah Adit dan ia langsung mengetahui di mana rumah Adit. Tentu saja Adit tidak ada di rumah. Dewi pun memutuskan untuk menunggunya di depan rumah Adit, duduk di trotoar pinggir jalan. Dewi memeluk kakinya dan membenamkan wajahnya ke lutut. Ia menangis di sana.
Menjelang sore, Dewi menghapus air matanya, menatap wajahnya di cermin dan memperbaiki penampilannya yang berantakan karena menangis tadi.
Beberapa saat kemudian dari kejauhan Adit datang. Dewi langsung berdiri dan tersenyum menyambut kedatangan Adit. Adit terkejut dan mempercepat langkahnya mendekati Dewi.“Dewi? Kenapa kau ke sini?”
“Hai, Dit. Aku kangen. Makanya aku ke sini.”
“Sudah sore, Dew, sebaiknya kau pulang.”
“Pulang? Aku ingin mengobrol dulu denganmu. Boleh ya?” Dewi bersikap manja.
“Aku masih banyak tugas, Dew, sebentar lagi ujian.”
“Sebentar saja, Dit.”
“Kau ini kenapa sih? Aku sibuk, Dew, aku harus segera menyelesaikan tugasku. Kau pulang ya, sudah mulai gelap.”
“Ok, aku pulang. Tapi nanti malam telepon aku ya.”
“Aku tidak bisa, Dew.”
“Kenapa?! Kau tidak mencintaiku?” Dewi mulai emosi.
“Kau ini bicara apa?”
“Aku bicara tentang kebenaran. Kau tidak mencintaiku kan? Kau hanya menjadikanku pelarian dari kak Clara kan?”
“Clara? Clara cuma masa laluku. Kau tidak usah membahasnya.”
“Ini harus kita bahas, Dit. Aku sudah tau semuanya. Selama ini kau sengaja memperlakukanku dengan mesra di depan kak Clara, tapi setelah itu kau berubah. Seperti sekarang ini.”
“Aku sudah bilang aku sibuk, Dew. Tidak ada hubungannya dengan Clara.”
“Tentu saja ada. Dit, aku mau kau jujur. Tadi aku bertemu dengan kak Clara.”
Adit terkejut dan langsung pucat.
“Kalian baru putus sebulan yang lalu kan? Secepat itukah hatimu berpindah padaku?”
Adit masih diam.
“Kak Clara bilang, sejak awal pacaran, kau selalu meneleponnya setiap malam, memberinya kejutan kecil hampir setiap hari. Juga menomorsatukan kak Clara dibanding tugas-tugas sekolahmu. Tapi aku tidak mendapatkan itu semua, Dit. Kenapa? Kau tidak mencintaiku kan? Jujur, Dit.” Dewi menangis lagi.
“Maaf, Dew. Aku memang orang jahat. Aku tidak sebaik yang kau kira. Aku tidak pantas kau banggakan dalam hatimu. Aku tidak pantas untuk gadis sebaik dirimu.”
“Kembalilah pada kak Clara.” Adit terkejut mendengar ucapan Dewi. “Yang terjadi di antara kalian hanya kesalahpahaman. Aku tau kalian masih saling mencintai. Beri dia kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Kak Clara orang baik, ia tidak seburuk yang kau pikirkan.”
“Tapi kau..”
“Aku tidak apa-apa. Jangan pedulikan aku. Terima kasih, Dit, atas semuanya.” Dewi pun melangkah pergi meninggalkan Adit yang masih terdiam. Dewi masih berharap Adit akan mengejarnya, memeluknya, dan berkata bahwa ia mencintai Dewi. Tapi Dewi tau itu tidak akan mungkin. Adit mencintai Clara. Itulah kenyataannya.
***
Dewi tersenyum. Ia melihat Adit dan Clara sedang berpelukan di halaman belakang sekolah. Ternyata mereka sudah baikan. Belum pernah Dewi merasa selega ini. Walaupun ia masih sedih, tapi ia tidak ingin menangis lagi, sudah cukup semalam ia membasahi bantalnya dengan air mata. Kenangan tujuh hari bersama Adit akan selalu tersimpan dalam hatinya.


SELESAI

We Are All Silly (Fan Fiction)

“Eun Hwa, kau yakin mau meneruskan pernikahan ini?” sahabatku, Kang Ji Soo bertanya padaku dengan ekspresi cemas. Saat ini aku sedang duduk di ruang rias, menunggu pesta pernikahanku dimulai. Aku hanya mengangguk lemah tanpa menatap sahabatku itu. Hal itu pula yang kulakukan pada semua teman-temanku yang menanyakan hal yang sama.
“Kau mencintainya?” ini pertanyaan telak yang sangat menusuk-nusuk hatiku, dan aku hanya bisa diam.
“Aku tau kau tidak mencintainya. Lalu kenapa kau mau menikah dengannya?”
“Aku menyukainya.” Kataku akhirnya.
“Eun Hwa, suka dan cinta itu dua hal yang berbeda. Katakan padaku, kenapa kau berbuat seperti ini?”
Lagi-lagi aku terdiam.
“Baiklah, terserah padamu. Kau yang menjalani pernikahan ini. Tapi aku sangat berharap kau bisa berpikir ulang. Masih ada waktu untuk membatalkannya. Pikirkan baik-baik.”
Ji Soo meninggalkanku sendiri di ruang rias. Sekali lagi aku menghela nafas. Aku juga tidak tau mengapa pada akhirnya aku menerima lamaran Heechul. Kami memang sudah saling mengenal sejak lama. Aku, Heechul, dan Ji Soo. Saking lamanya kami berteman, aku jadi sangat bergantung pada mereka, terutama Heechul, dia sudah seperti kakakku sendiri. Dia selalu membantuku di saat aku kesulitan, juga menghiburku di saat aku sedih. Aku senang berada di dekatnya, rasanya tidak ada yang perlu kutakutkan jika ada Heechul. Namun semua itu berubah sejak kehadiran Sungmin. Dia adalah pegawai baru di kantorku sejak satu tahun yang lalu. Apakah kalian pernah mengalami suatu kejadian di mana kalian memandang seseorang untuk pertama kalinya dan hatimu langsung berdebar-debar seolah berkata “Dia orangnya!”? Aku pernah mengalaminya. Ya, saat pertama kali memandang Sungmin, hatiku langsung melonjak kegirangan, berdebar-debar, seolah-olah aku pernah mengenal dia sebelumnya.
Kuakui, Sungmin memang tampan. Ah, mungkin tidak bisa dibilang tampan karena wajahnya cenderung manis dan imut seperti anak kecil, walaupun usianya sudah menginjak 30 tahun. Dia sosok yang pintar dan memiliki pengetahuan yang luas. Bahkan atasan kami sering memujinya. Selama 3 bulan pertama aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan, hanya saling bertegur sapa jika kebetulan bertemu. Itu saja sudah membuatku berdebar-debar dan susah tidur. Setiap kali aku berbicara padanya, aku selalu menumpahkan kegembiraanku pada buku diary. Tentu saja Heechul dan Ji Soo tidak mengetahui hal ini. Bahkan sampai saat ini aku tidak memberitahu mereka bahwa aku mencintai Sungmin. Bukannya aku tidak percaya pada mereka, tapi aku sendiri tidak tahu bagaimana memberitahu mereka tentang perasaanku ini. Aku memang tidak pandai mengungkapkan perasaanku.
Lalu pada bulan keempat, aku mendapat sebuah tugas yang mengharuskanku bekerja sama dengan Sungmin. Sejak saat itulah aku mulai dekat dengannya. Aku senang sekali dan berharap bahwa kedekatan kami akan berkembang lebih jauh. Namun semua itu tinggal harapan. Sungmin tidak pernah menembakku. Bodoh sekali aku berharap terlalu jauh. Berkali-kali aku mengira bahwa Sungmin juga menyukaiku, tapi mungkin saja itu hanya perasaanku, aku yang terlalu jauh mengkhayal. Mungkin Sungmin hanya menganggapku rekan kerjanya.
Sampai pada akhirnya Heechul tiba-tiba saja menembakku, bahkan langsung melamarku. Kejadian ini terjadi saat ia mengajakku makan malam hanya berdua. Awalnya aku tidak menaruh curiga karena Heechul bilang Ji Soo tidak bisa ikut karena ada urusan mendadak. Namun selesai makan malam, tiba-tiba saja Heechul mengeluarkan sebuah cincin dan menyatakan perasaannya padaku. Entah apa yang merasukiku saat itu, aku langsung mengangguk dan menerima lamarannya. Mungkin aku sudah sangat putus asa atas hubunganku dengan Sungmin sehingga aku tidak bisa lagi berpikir panjang. Lagipula tidak ada salahnya menikah dengan Heechul, dia sudah sangat mengenalku, begitu pula sebaliknya. Bukankah ini justru bagus? Kami sudah bisa menerima satu sama lain apa adanya.
Yah, keputusan sudah diambil. Aku tidak bisa mundur lagi. Menyesal pun tidak ada gunanya sekarang karena hari ini adalah hari pernikahanku.
***
Aku berdiri di ambang pintu gereja. Para tamu menatapku dengan takjub. Lalu beberapa saat kemudian aku pun mulai melangkah menuju podium diiringi ayahku. Aku menatap sekelilingku. Tak butuh waktu lama untuk menemukan sosok Sungmin. Aku memang selalu bisa menemukannya sekalipun di tempat yang sangat ramai. Sungmin tersenyum melihatku, dan senyuman itu membuat hatiku perih. Aku langsung mengalihkan pandanganku, berpura-pura tidak melihatnya dan focus pada Heechul yang sudah berdiri di hadapanku smabil tersenyum. Bahkan senyuman Heechul yang biasanya dapat membuatku tenang, kini malah membuatku semakin ingin menangis. Bukan dia yang kucintai, aku baru benar-benar menyadarinya sekarang. Seandainya yang menungguku di depan podium saat ini adalah Sungmin, pasti wajahku akan dipenuhi oleh senyuman bahagia. Sekarang, untuk tersenyum pun sangat sulit. Daripada aku meneteskan air mata saat memaksakan senyuman, lebih baik aku diam saja.
Begitu sampai di hadapan Heechul, ayahku melepaskan genggaman tangannya dan menyerahkan tanganku pada Heechul.  Lalu ayah menepuk bahu Heechul seakan berkata “jaga putriku baik-baik.” Kemudian duduk di kursi barisan paling depan. Aku menatap ayah dengan sedih, perasaanku sama seperti saat aku pertama kali duduk di bangku TK, aku tidak ingin ayah pergi meninggalkanku bersama teman-teman yang masih sangat asing bagiku. Tapi yang ada di hadapanku saat ini bukanlah orang asing. Dia adalah Heechul, tapi mengapa aku bisa merasakan perasaan seperti itu?
“Kau sakit?” bisik Heechul di telingaku.
Aku sedikit terkejut lalu menggeleng.
“Syukurlah..” lagi–lagi Heechul tersenyum dan menuntunku berjalan menuju podium. Aku melingkarkan lenganku pada lengan Heechul. Ini pertama kalinya aku berjalan beriringan sambil bertautan lengan seperti ini dengan Heechul, tapi aku sama sekali tidak merasa bahagia. Aku merasa sangat asing. Hubungan ini seharusnya tidak seperti ini.
“Kau yakin baik-baik saja?” aku tau sejak tadi Heechul terus memandangiku, dan aku sama sekali tidak bisa tersenyum. Aku malah jadi salah tingkah dipandangi oleh Heechul.
Aku hanya mengangguk tanpa memandang Heechul. Acara pernikahanku pun dimulai. Pastur mulai membacakan janji-janji yang harus dipatuhi oleh sepasang suami-istri. Aku sama sekali tidak fokus, semua perkataan pastur itu bagaikan angin lalu.
“Saudara Kim Heechul, apakah Anda bersedia menjadi suami dari saudari Song Eun Hwa, menjadi ayah yang baik dari anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada saudara, saling menghormati, mengasihi, dan menyayangi di saat senang maupun susah seumur hidup Anda?”
Aku memejamkan mata. Sebentar lagi adalah giliranku. Ya, Tuhan, apa yang harus kulakukan? Sudah benarkah keputusanku ini. Tapi hatiku sungguh sangat menolak pernikahan ini. Tapi aku sudah sampai di sini, aku sudah tidak mungkin lagi membatalkannya. Aku menjerit dalam hati.
“Tidak. Saya tidak bersedia.”
Aku langsung membuka mataku dan dengan cepat memandang Heechul tidak percaya. Suasana gereja menjadi sangat hening. Pastur pun terdiam. Keheningan ini terasa sangat lama hingga akhirnya ayahku bangkit dan berkata, “Apa maksudmu, Heechul?”
Heechul membalikkan tubuhnya. Semua tamu memandang kami, terutama Heechul, dengan tatapan tidak percaya. Ada juga yang memandangnya dengan tatapan mencemooh. Aku sungguh tidak tau apa yang dilakukan Heechul. Mengapa ia berkata tidak? Mengapa ia mempermalukan dirinya seperti ini?
Heechul membungkuk lalu menegakkan badannya.
“Aku sungguh minta maaf kepada semua hadirin, terutama kepada keluarga Eun Hwa dan keluargaku, juga pada Eun Hwa. Aku sungguh tidak bisa meneruskan pernikahan ini. Sebenarnya aku.. tidak mencintai Eun Hwa. Aku sungguh tidak bisa meneruskannya. Maaf.”
“Keterlaluan!” ayah Heechul menghampiri kami dan menampar Heechul dengan keras. Aku sangat terkejut. Ini sungguh di luar dugaan. Mengapa jadi seperti ini? Kenapa Heechul melakukan hal ini?
“Kau tidak memikirkan perasaan Eun Hwa?! Berani-beraninya kau menghancurkan pernikahan ini! Kau..” ayah Heechul mulai limbung, para hadirin yang duduk di dekat kami langsung membantu memapahnya, begitu pula denganku.
Acara pernikahan pun batal begitu saja. Para tamu kecewa, ada beberapa yang mengumpat Heechul, berkata bahwa ia sungguh pria yang kejam.
Kami membawa ayah Heechul ke rumah sakit. Untungnya kondisi beliau masih stabil, hanya perlu beristirahat. Aku yang masih mengenakan gaun pengantin pun duduk di ruang tunggu rumah sakit. Heechul duduk di sebelah kami. Hanya ada kami berdua saat ini. Keluarga kami yang lain sebagian sudah pulang, sisanya sedang mengurus administrasi dan menjaga ayah di dalam kamar.
“Kenapa?” aku memulai pembicaraan.
“Apa?”
“Kenapa kau melakukan ini? Kau tidak memikirkan ayahmu? Kau tidak memikirkan dirimu sendiri? Kau sudah mempermalukan diri sendiri di gereja.”
“Aku tau ayahku akan kaget. Syukurlah ayah tidak apa-apa. Dan aku tidak peduli pada apa yang akan orang-orang katakan tentangku. Aku lebih memikirkan dirimu.”
“Kenapa denganku? Aku baik-baik saja.”
“Kau sungguh tidak baik-baik saja, Eun Hwa. Aku tau kau tidak menginginkan pernikahan ini.”
Aku memandang Heechul tidak percaya. Dia tau perasaanku?
“Sepanjang acara pernikahan, kau sama sekali tidak tersenyum. Mempelai mana yang sama sekali tidak tersenyum di acara pernikahannya sendiri? Bahkan jauh sebelum kita menikah, aku tau aku hanya bertepuk sebelah tangan. Tapi aku sungguh egois. Aku nekat melamarmu. Saat kau menerima lamaranku, aku sangat senang. Kupikir aku sudah bisa mengambil hatimu. Tapi kau tetap saja tidak pernah tersenyum bahagia saat bersamaku. Egoku juga tidak hilang, aku terus berusaha membuatmu tertawa dan bahagia. Tapi sampai hari ini pun, aku tidak pernah mendapat tempat di hatimu. Daripada aku melihatmu menderita seumur hidup, lebih baik aku melepaskanmu.”
“Kau.. tau?”
“Aku sangat mengenalmu lebih dari yang kau tahu, Eun Hwa. Aku juga tau kau mencintai Sungmin.”
“Apa?!” kali ini aku sungguh-sungguh terkejut.
Heechul tersenyum. “Sudahlah, kau tidak perlu lagi menutupinya. Aku tau semua perasaanmu. Kau mencintainya, benar kan?”
Aku menunduk. Lalu kemudian mengangguk.
“Si bodoh itu..” Heechul bergumam.
“Apa?”
“Ah tidak. Kau mau minum sesuatu? Biar aku belikan. Kau pasti lelah.”
Aku mengangguk lagi. Heechul pun pergi meninggalkanku sendirian di ruang tunggu.
“Eun Hwa!! Eun Hwa!” seseorang memanggilku.
Sungmin?? Seketika itu juga jantungku berdetak cepat. Kenapa Sungmin ada di sini? Sungmin duduk di sebelahku dan menatapku dengan khawatir.
“Kau tidak apa-apa?”
Aku tersenyum.
“Tidak apa-apa. Paman Kim baik-baik saja, aku jadi tenang.”
“Eh? Em.. Yah, syukurlah kalau begitu. Bagaimana denganmu? Kau tidak apa-apa?”
“Aku tidak apa-apa.”
“Benarkah? Pernikahan ini batal begitu saja. Kau pasti sangat sedih. Mana Heechul? Berani-beraninya dia membatalkan pernikahan ini!” gumamnya marah.
“Tidak perlu. Aku malah senang pernikahan ini batal.”
“A.. Apa?”
Aku menghela nafas panjang.
“Sebenarnya.. Bukan Heechul yang tidak mencintaiku. Aku yang tidak mencintainya. Dia melindungiku. Dia mempermalukan dirinya sendiri karena aku.”
“Apa?”
“Yah, aku memang menganggapnya kakak, tidak lebih. Dia baik sekali. Seandainya saja aku bisa mencintainya, mungkin hari ini adalah hari yang paling bahagia seumur hidupku.”
“Lalu.. Kenapa kau mau menikah dengannya? Maksudku.. Kenapa kau menerima lamarannya?”
Aku terdiam. Bagaimana aku harus menjawabnya? Haruskah aku berkata bahwa ini semua karena Sungmin? Karena aku sudah putus asa dengan hubungan kami?
“Ah maaf. Tidak apa-apa jika kau tidak mau menjawab.”
“Karena aku mencintai seseorang.” Kataku akhirnya. “Dan aku sudah putus asa dengan hubungan itu. Lalu tanpa pikir panjang aku menerima lamarannya.”
“Benarkah?”
Aku mengangguk.
“Lalu siapa pria yang kau cintai itu? Bodoh sekali dia tidak menembakmu. Kau ini cantik, pintar, dan menyenangkan. Hah, dia akan menyesal!”
Benarkah? Benarkah kau akan menyesal? Apakah kau termasuk bodoh jika tidak menembakku?” aku tersenyum pahit.
“Bagaimana kalau denganku saja?”
Aku menatapnya dengan tidak percaya. Apa katanya? Apa dia serius mengatakan hal itu? Apa dia sedang menembakku sekarang?
“A.. Apa?”
Sungmin tampak salah tingkah. Ia menggaruk-garuk kepalanya.
“Ehm.. Sebenarnya ini memang bukan waktu yang tepat. Tapi.. Kau lihat sendiri, aku juga tampan dan pintar. Aku pasti tidak kalah jauh dengan pria yang kau cintai itu kan?”
Aku terdiam. Apakah ini benar-benar terjadi?
“Ah, sudahlah, lupakan saja. Jangan serius begitu. Aku hanya bercanda, supaya kau terhibur. Tapi ternyata leluconku payah. Maaf ya sudah membuatmu terkejut..” Sungmin tersenyum.
“Ah, kau ini bodoh sekali!” aku sedikit membentak dan pergi meninggalkan Sungmin. Sebenarnya bukan Sungmin yang bodoh, tapi aku. Mengapa aku bisa saja mempercayai kata-katanya tadi? Sejak awal dia memang hanya menganggapku temannya, tidak lebih. Dasar bodoh!
***
Sejak kejadian hari itu aku tidak lagi mempedulikan Sungmin. Aku tau bahwa aku dan Sungmin akan tetap menjadi teman, selamanya akan begitu. Sedapat mungkin aku tidak berpapasan dengannya di kantor. Aku selalu menghindarinya. Jika memang sangat terpaksa harus berpapasan, aku hanya menyapa sekedarnya lalu buru-buru pergi. Perasaan ini harus segera dihilangkan, aku harus move on! Tidak boleh terus-terusan bersedih. Sungmin juga sepertinya tidak masalah dengan sikapku. Ia bahkan tidak berusaha mendekatiku. Aku sedikit kecewa tapi mungkin memang ini jalan terbaik. Sejak awal hubungan ini memang tidak mungkin ada kemajuan.
“Kau mau makan siang bersama?” suatu hari Sungmin menghampiri meja kerjaku. Aku sedikit terkejut dan senang tapi aku tetap berusaha tenang.
“Tidak. Aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku.”
“Mau sampai kapan kau seperti ini?”
“Seperti ini bagaimana?”
“Kau sudah lebih dari sebulan menghindariku. Apa aku punya salah padamu?”
“Tidak. Hanya perasaanmu saja.”
Sebenarnya akulah yang bersalah.” Kataku dalam hati.
“Baiklah. Tapi kau harus makan, jangan sampai sakit.”
“Bukan urusanmu. Aku bisa makan sendiri jika aku lapar.”
“Ikut aku.”
Sungmin menarik tanganku begitu saja.
“Hey, mau ke mana?”
Sungmin tidak menjawab, ia terus menarikku hingga keluar kantor, lalu berjalan menuju mobilnya. Ia membuka pintu penumpang dan menyuruhku masuk.
“Mau ke mana?”
“Masuk saja.”
Aku menggerutu kesal dan masuk ke dalam mobil. Sungmin membawaku ke sebuah restoran outdoor. Aku belum pernah ke sini sebelumnya. Restoran ini seperti sebuah taman, dengan meja yang disusun sedemikian rupa. Lalu di tengah-tengah taman terdapat kolam dengan sebuah air mancur di tengahnya. Romantis sekali tempat ini, mungkin khusus dibangun untuk pasangan yang ingin berkencan.
“Ini restoran kesukaanku. Biasanya aku ke sini sendirian. Baru kali ini aku mengajak seorang teman ke sini.”
Teman..” aku mengulangi perkataannya dalam hati.
“Pesan saja apa yang kau suka. Aku traktir.”
“Sudah kubilang aku tidak lapar. Dan aku bisa membayar sendiri.”
“Kau ini sebenarnya ada apa? Kau marah padaku?”
“Tidak. Kenapa aku harus marah?”
“Itulah yang ingin kutanyakan. Kau terus menghindariku. Sebenarnya apa salahku?”
“Kau tidak punya salah.”
“Lalu mengapa kau bersikap seperti ini? Kalau kau ada masalah, ceritakan padaku.”
“Memangnya kau ini siapa? Apa pedulimu terhadap masalahku?”
“Kita ini teman, kan? Aku bisa membantumu jika kau memang ada masalah.”
“Aku tidak punya masalah, dan kalaupun ada, aku tidak harus mengatakannya padamu. Ya, kita ini teman, kita HANYA teman biasa. Mengapa kau begitu peduli padaku?!”
“Karena aku menyukaimu!”
Aku terdiam.
“A.. Apa?”
“Aku menyukaimu. Aku.. Mencintaimu..”
“Kau tidak usah bercanda lagi. Kau tidak perlu menghiburku dengan lelucon payahmu itu. Aku tidak akan percaya lagi padamu!”
“Aku serius! Waktu itu di rumah sakit aku juga serius. Aku tau kau mencintai pria lain. Aku tidak mau membuatmu bingung, makanya aku pura-pura berkata bahwa aku hanya bercanda. Sungguh!”
Air mataku mulai mengalir. Benarkah ini semua? Benarkah Sungmin ternyata juga mencintaiku? Apakah ini hanya mimpi?
“Kau.. Kau ini bodoh sekali!!” aku meringis. Hatiku mulai berbunga-bunga saat ini.
“Kenapa kau selalu mengatakan aku bodoh? Waktu itu kau juga bilang aku bodoh.”
“Ya, kau memang bodoh! Kau tidak pernah menyadari perasaanku!”
“Maksudmu?”
“Bodoh! Pria yang aku cintai itu kau, Sungmin!”
“A.. Apa? Be.. Benarkah?” Sungmin meraih tanganku. Aku mengangguk dan tersenyum.
“Dasar bodoh!” kataku pelan sambil tertawa.
“Bodoh sekali aku ini. Ya, aku bodoh.”
“Kita berdua bodoh. Aku juga tidak pernah menyadari perasaanmu.”
Sungmin tampak salah tingkah.
“Tapi sekarang kita sudah mengetahui isi hati masing-masing.” Sungmin tersenyum. Senyuman yang selalu kusukai.
“Kau ini umur berapa? Kenapa manis sekali sih? Aku jadi terlihat lebih tua darimu.” Kataku dengan wajah cemberut.
“Kau ini! Aku ini memang terlahir dengan baby face. Makanya kau bisa menyukaiku.”
Aku mendecak sebal.
“Jangan marah.. Kau juga manis, sungguh. Pria manis sepertiku pasti juga menyukai wanita yang manis sepertimu.”
Ya! Kau ini gombal sekali!”
“Sungguh!”
“Ah, sudahlah. Ayo kita pesan makan saja. Aku lapar!” kataku mengalihkan pembicaraan.
Sungmin tersenyum melihatku yang salah tingkah.
“Kenapa kau senyum-senyum begitu? Ayo pesan!”
“Eun Hwa.. Saranghae..”
“Aish, cepat pesan!” aku menunduk malu dan pura-pura memilih makanan, sedangkan Sungmin masih saja tersenyum lebar menatapku. Sungmin memang selalu bisa membuatku berdebar-debar seperti ini. Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan bagiku.
Saranghaeyo, Sungmin oppa..” kataku dalam hati.

***