Saturday, May 31, 2014

Love Food (Fan Fiction)

Type: One Shoot
Cast: Kim Ryeowook, Han Hyun Mi, Eun Hyuk
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku melirik jam tanganku, sudah jam 10 malam dan aku masih berada di bus menuju tempat tinggalku di sebuah wisma. Aku tinggal sendirian di wisma itu karena orang tuaku tinggal di kota lain. Hari ini kerjaan kantor sangat banyak sehingga aku harus lembur sampai jam 9 malam. Aku bahkan belum makan sejak siang karena tidak sempat. Begitu pulang, mungkin aku akan masak mie instan saja, itupun kalau sempat.
Begitu sampai gang dekat wisma, aku turun dari bus. Dengan cepat aku berlari ke dalam gang dan sampai di wisma. Aku benar-benar sangat kelaparan. Setelah menginjak lantai kedua dan melewati beberapa kamar, aku langsung mengeluarkan kunci dan membuka pintu kamar. Lampu depan langsung menyala otomatis. Wisma ini memang tidak terlalu besar, harganya pun terjangkau, namun aku sangat nyaman dan betah tinggal di sini.
Aku memasuki kamarku dan mengernyit heran. Mengapa lampu dalam menyala? Ah, mungkin karena Ryewook oppa lupa mematikan lampu. Ini namanya pemborosan, aku menggerutu dalam hati. Ryeowook oppa adalah senior sekaligus teman dekatku sejak SMA. Dia memang suka seenaknya memasuki wisma-ku hanya untuk menyiapkan makan malam untukku. Dia memang pandai memasak. Ya, benar juga! Oppa pasti sudah memasak untukku, pikirku senang. Lalu aku menghampiri meja makan. Benar saja, di meja makan sudah tersedia aneka makanan. Mulai dari sup, daging, dan sayuran yang tentu saja tidak akan aku sentuh. Aku tidak suka sayuran!
Ya, kau baru pulang?” Ryeowook tiba-tiba saja muncul di belakangku.
Oppa! Kau mengagetkanku!”
Ryeowook mengucek matanya, sepertinya ia baru bangun tidur.
“Kenapa kau baru pulang?”
“Aku ada kerjaan kantor. Lembur.”
“Kau pasti belum makan. Ayo kita makan!”
“Kita? Oppa belum makan?”
“Tentu saja belum. Aku sudah menunggumu 3 jam sampai aku ketiduran di sofa.”
Oppa bisa makan dulu, tidak perlu menungguku.”
“Sudahlah, ayo makan.”
Kami pun mengambil semangkuk nasi dan mulai makan.
“Hey, sprei tempat tidurmu sudah kuganti. Kau ini kenapa malas sekali. Sprei sudah bau begitu masih saja tidak kau ganti.”
Ya! Seenaknya saja. Spreiku tidak bau!”
“Tapi kau harus tetap menggantinya seminggu sekali. Banyak kuman, kau bisa sakit.”
“Aku tidak sempat. Oppa saja yang menggantinya. Terima kasih!” kataku dengan cuek.
“Aish, kau ini. Ini sayuran dimakan, biar sehat.” Ryeowook menaruh sepotong brokoli ke dalam mangkuk nasiku.
Oppa! Aku tidak suka sayur!”
“Kubilang makan! Ayo..”
Aku memasang muka cemberut tapi Ryeowook tidak peduli dan malah menatapku dengan tajam, mengawasiku seperti anak kecil. Dengan terpaksa aku memasukkan brokoli itu ke dalam mulut dan menelannya dengan ekspresi jijik. Oppa menyebalkan!
***
Aku berjalan cepat menuruni tangga. Jam makan siang sudah lama lewat tapi aku tidak sempat makan tadi, jadi sepulang kerja aku langsung cepat melangkah menuju kantin yang biasanya masih buka sampai pukul 8 malam.
“Auh!” di persimpangan tangga aku menabrak seseorang. Aku segera minta maaf dan berjalan cepat melewati pria tersebut.
“Hyun Mi-ssi?”
Aku menoleh bingung. “Ne?
“Kau.. Hyun Mi-ssi?”
Ye.. Waeyo? Kau tau namaku?”
“Hyun Mi-ya, kau tidak ingat padaku?”
Aku menatapnya bingung. Aku sungguh tidak mengenal dan tidak pernah melihat pria ini di kantor. Aku pun menggeleng.
Aigoo.. Kau ini kejam sekali. Aku Eun Hyuk. Ingat?”
“Eun Hyuk?” aku berpikir keras. Siapa dia?
“Eun Hyuk. Teman sekelasmu di tempat kursus matematika saat SMP. Ingat?”
“Ah! Eun Hyuk-ssi! Kau rupanya! Ah, jinjja.. Maafkan aku karena tidak mengenalimu.”
Gwenchanayo.. Kau bekerja di sini?”
Ne. Sudah 3 tahun. Eun Hyuk-ssi juga bekerja di sini? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya.”
Ye, aku baru saja diterima kemarin. Hari ini hari pertamaku bekerja.”
Aku mengangguk paham. “Lalu kau mau ke mana?”
“Aku mau menemui atasan sebentar. Kau? Sudah mau pulang?”
Ye, kerjaanku sudah beres. Tapi aku mau mampir di kantin sebentar, tadi belum sempat makan.” Jawabku sambil tersenyum lebar.
“Ah, baiklah. Aku nanti menyusul, kita makan bersama ya. Tunggu aku, tidak lama kok.”
“Baiklah. Aku duluan.”
“Yap!”
***
“Maaf, agak lama.” Eun Hyuk menghampiriku di kantin. Makananku baru saja datang.
“Tidak apa-apa. Kau tidak memesan?”
“Aku sudah memesan tadi. Kau makan dulu saja, pasti kau sudah lapar sekali.”
“Tidak apa-apa. Aku menunggu makananmu datang saja dulu.”
Sesaat suasana jadi agak canggung. Sebenarnya dulu aku dan Eun Hyuk tidak begitu dekat. Kami hanya mengobrol biasa di kelas kursus mengenai pelajaran jika ada kesempatan untuk mengobrol. Itu pun tidak terlalu sering. Aku sedikit lega saat akhirnya pesanan Eun Hyuk datang, dan langsung membelalak begitu melihat bahwa semua lauknya adalah daging, tidak ada sayur sedikitpun.
“Kau tidak makan sayur?” tanyaku.
“Haruskah aku makan sayur?”
“Ah tidak. Aku hanya berpikir sayur bisa menyeimbangkan makanan kita. Jadi bisa lebih sehat.” Itu yang Ryeowook oppa katakan padaku.
“Aku tidak suka sayur. Kau suka?”
“Eh? Sebenarnya aku juga tidak suka. Tapi ada yang terus memaksaku makan sayur.”
“Siapa? Ibumu?”
“Salah satunya.”
“Ah, pacarmu kah?”
Aniyeo! Bukan pacarku. Dia sahabatku.”
Eun Hyuk tertawa kecil. Aku bingung mengapa ia tertawa.
Waeyo?
“Sahabatmu itu pasti seorang pria.”
“Darimana kau tau?”
“Dari ekspresimu saat berkata tidak. Kau seakan-akan sudah terbiasa mengelak pertanyaan seperti yang kulontarkan tadi.”
“Ah, begitukah?”
Eun Hyuk mengangguk. Ya, dia memang benar. Banyak sekali orang yang mengira aku dan Ryeowook oppa berpacaran karena kami dekat dan mungkin sudah ratusan kali aku mengelak pernyataan itu.
“Kalau kau tidak suka, jangan dipaksa. Aku selalu menyisihkan sayur yang ada di makananku.”
Aku berpikir sejenak. Sekali-sekali mungkin boleh juga aku tidak menuruti permintaan Ryeowook oppa. Lagipula ini kan makananku, terserah aku mau makan apa. Ya kan? Aku pun menyisihkan sayuran yang ada di makananku. Sekali ini saja, pikirku.
Kami melanjutkan makan sambil mengobrol tentang masa-masa kuliah. Ternyata Eun Hyuk lumayan asyik diajak ngobrol, dia selalu bisa mencari topic pembicaraan sehingga aku bisa ikut bercerita. Setelah makan, dia juga mengantarku pulang.
“Lembur lagi?” Ryeowook oppa menyapaku saat aku melewati kamarnya menuju kamarku sendiri. Ryeowook sedang duduk di depan kamarnya.
“Hm.. Tidak juga sih. Tadi aku bertemu teman lama, jadi makan dulu sebelum pulang.”
“Kau sudah makan?”
“Sudah. Waeyo? Kau memasak untukku?”
Anieyo. Aku hanya bertanya. Kau makan di mana?”
“Di kantin kantor.”
“Kau..”
“Tenang saja, oppa, aku makan sayur kok.” Ucapku berbohong supaya Ryeowook oppa tidak ngomel-ngomel lagi sehingga membuatku pusing.
“Baguslah..”
“Ya sudah, oppa, aku ke kamar dulu.”
Ne.
***
Sejak Eun Hyuk dan aku bekerja di kantor yang sama, kami jadi semakin akrab. Walaupun berbeda divisi tapi Eun Hyuk sering datang ke mejaku untuk sekedar ngobrol, mengajak makan siang, atau apapun. Aku sendiri tidak merasa terganggu karena ternyata aku dan Eun Hyuk memiliki berbagai persamaan, salah satunya adalah ketidaksukaan kami pada sayur. Eun Hyuk selalu punya rekomendasi restoran yang bagus. Seleranya oke juga, makanan yang dipilihkan Eun Hyuk selalu menggiurkan dan sebagian besar tanpa sayuran. Aku sangat menikmatinya. Aku jadi tidak merasa terbebani dengan kalimat “makan sayurnya” yang selalu dilontarkan oleh Ryeowook setiap kami makan bersama.
“Kenapa akhir-akhir ini kau pulang malam?” lagi-lagi Ryeowook menungguku di depan kamarnya.
“Memangnya kenapa, oppa? Aku kan banyak kerjaan.”
“Kau sudah makan?”
“Sudah.” Jawabku singkat.
“Sekarang kau jadi sering makan di luar. Kau tau, makanan di luar itu belum terjamin higienitasnya.”
Ya! Oppa, aku makan di restoran yang bersih kok. Makanannya juga enak.”
“Apa makanannya ada sayurnya?”
“Aku makan sayur, oppa. Tenang saja.” Lagi-lagi aku berbohong.
“Biar bagaimanapun makanan rumah lebih sehat.”
Oppa ini kenapa? Bagus dong kalau aku makan di luar. Lagipula aku tidak bisa masak. Oppa juga tidak perlu repot-repot lagi memasak makan malam untukku.”
“Dengan siapa kau pergi? Dengan teman lamamu itu?”
Waeyo? Kenapa oppa bertanya hal itu?”
“Sejak kau bertemu teman lamamu itu, kau selalu makan di luar. Aku khawatir kau makan makanan yang tidak sehat.”
“Memangnya apa peduli oppa? Oppa tidak perlu memperhatikanku sampai seperti ini. Aku mau makan dengan siapa, terserah aku. Aku mau makan apa juga terserah aku. Oppa ini bukan kakakku beneran. Oppa hanya disuruh eomma untuk menjagaku, tapi kau tidak perlu sampai seperti ini, mengatur makanku segala.” Aku mulai emosi.
“Begitu?”
Ne.
“Yah, aku memang hanya  menjalankan amanah dari ibumu. Tapi kalau kau sendiri tidak mengizinkanku untuk memperhatikanmu, aku bisa apa? Terserah kau saja.”
Setelah itu Ryeowook oppa masuk ke kamar. Aku tau Ryeowook oppa kesal, tapi aku cuek saja. Biasanya Ryeowook oppa tidak akan pernah lama jika marah. Aku pun melangkah menuju kamarku dengan santai.
***
Esoknya aku bangun dengan ceria. Baru saja Eun Hyuk mengirimku pesan, ia akan mengajakku makan malam di restoran baru lagi. Eun Hyuk memang paling tau restoran mana yang menyajikan makanan-makanan lezat. Aku keluar kamar dan seperti biasa melewati kamar Ryeowook. Kebetulan Ryeowook sedang memakai sepatu dan bersiap untuk ke kantor.
“Pagi, oppa!” sapaku ceria. Ryeowook memandangku sekilas lalu melanjutkan memakai sepatu tanpa membalas sapaanku. Kemudian ia bangkit dan berjalan melewatiku begitu saja. Aneh, Ryeowook tidak pernah seperti ini. Apa ia masih marah?
Sepanjang hari itu aku selalu kepikiran Ryeowook oppa. Sikapnya benar-benar aneh. Apakah ucapanku semalam begitu menyakitinya? Bukankah apa yang aku katakan itu kenyataan? Ryeowook oppa seharusnya bisa lega karena tidak perlu lagi memasak makan malam untukku, apalagi sampai menungguku pulang setiap makan. Dia kan bukan siapa-siapa, hanya teman dekatku saja. Dia tidak perlu menuruti permintaan eomma untuk menjagaku, lagipula dulu eomma mengatakan hal itu tidak serius. Mengapa Ryeowook oppa terlalu serius menanggapinya?
“Kau kenapa?” Eun Hyuk bertanya padaku saat makan malam.
Waeyo? Aku tidak apa-apa.”
“Seharian ini sepertinya kau melamun terus. Apa kau ada masalah?”
“Ah, tidak ada.”
“Benarkah? Kau pasti ada masalah. Apa kau berkelahi dengan sahabatmu itu? Siapa namanya?”
“Ryeowook. Ah, tidak, kami baik-baik saja.”
Eun Hyuk memandangku dengan tidak percaya.
“Ada apa?” tanyaku bingung.
“Kau berbohong.” Perkataan Eun Hyuk langsung menancap di hatiku.
A.. Anieyo!”
“Yah, kau bisa bercerita padaku kalau kau ada masalah.  Hyun Mi yang kukenal tidak pernah melamun sepanjang hari seperti ini kecuali jika ada masalah.”
“Bagaimana kau tau?”
“Aku sering memperhatikanmu dulu saat di kelas kursus. Kau selalu ceria setiap hari. Lalu suatu hari saat kau mendapat teguran dari pak guru karena  nilaimu menurun, kau menjadi pemurung selama beberapa hari.”
“Kau memperhatikanku?”
“Ya. Karena aku menyukaimu.”
M.. Mwo?!”
“Hahaha.. kau tidak perlu terkejut seperti itu. Aku menyukaimu dulu.”
“Dulu?”
“Ya. Kenapa? Kau berharap aku masih menyukaimu sekarang? Sayangnya aku sudah punya tambatan hati.”
A.. Anieyo! Kau terlalu percaya diri! Aku hanya tidak menyangka kau menyukaiku dulu.”
“Kau memang tidak peka, Hyun Mi. Sebenarnya banyak cowok di kelas kursus yang menyukaimu. Tapi kau tidak pernah menyadarinya dan menganggap mereka semua hanya teman biasa. Kau baik pada semua orang, membuat kami jadi tidak punya nyali untuk jujur padamu.”
Aku hanya bisa melongo. Benarkah itu semua?
“Jadi? Apa benar kau sedang punya masalah dengan Ryeowook?”
“Hmm.. Hah.. baiklah aku ceritakan.”
Aku pun menceritakan kejadian semalam pada Eun Hyuk.
“Kurasa ia menyukaimu.” Perkataan Eun Hyuk yang satu ini sungguh membuatku tersedak. “Hei, pelan-pelan saja.”
Aku pun minum sejenak sebelum bertanya lebih lanjut.
“Kenapa kau bisa berkata begitu?”
“Menurutmu, kalau ada pria yang begitu memperhatikanmu sampai sedetail itu, apa artinya jika bukan suka?”
“Ia hanya menjalankan amanah dari eomma-ku.”
“Itu hanya alibi. Walaupun ia sahabatmu, belum tentu ia akan memperhatikan hal sedetail itu tentang dirimu, ia tidak akan begitu memperhatikan pola makanmu, apa yang kau makan, dengan siapa kau pergi. Kecuali ia menyukaimu.”
“Begitu menurutmu?”
“Kau menyukainya?”
Pertanyaan itu langsung membungkam mulutku. Apa aku menyukai Ryeowook?
“Tentu saja. Ia teman dekatku.”
“Bukan itu maksudku. Kau mencintainya?”
“Cinta?”
“Ya.”
“A.. Aku tidak tau.”
“Tanya hatimu baik-baik. Apa yang kau rasakan jika kau berada di dekatnya? Bagaimana perasaanmu saat ia rela menunggumu pulang dan memasak makan malam untukmu?”
***
Percakapanku dengan Eun Hyuk di restoran itu benar-benar semakin membuatku pusing. Mengapa kejadian ini sampai melibatkan masalah perasaan seperti ini? Benarkah Ryeowook menyukaiku? Ah tidak mungkin! Sikapnya selama ini lebih seperti seorang kakak. Lagipula, apa aku menyukai Ryeowook? Tentu saja tidak! Aku juga hanya menganggapnya kakak. Bagaimana perasaanku saat ia menungguku pulang malam dan memasak untukku? Tentu saja aku senang, aku tidak perlu berpikir harus makan apa, makan di mana, semuanya sudah disajikan di atas meja begitu aku pulang kerja. Tapi Ryeowook oppa selalu menyuruhku makan sayur. Ah! Pusing! Terserah lah, aku tidak mau berpikir terlalu banyak!
Menjelang pukul 9 malam aku baru sampai di wisma. Begitu melewati kamar Ryeowook, aku mengernyit heran. Mengapa kamarnya gelap sekali? Apa Ryeowook sudah tidur jam segini? Tapi lampu depan kamarnya juga tidak menyala. Atau dia belum pulang kerja?
“Hyun Mi-ssi..” seseorang memanggilku.
“Ah, ahjumma, selamat malam.” Kataku. Ternyata yang memanggilku adalah bibi pemilik wisma ini.
“Kau baru pulang?”
Ye. Tadi aku makan malam dulu dengan temanku.”
“Oh.. Kau tidak mengantar Ryeowook ke bandara?”
“Bandara? Memangnya dia ke mana?”
“Kau tidak tau?”
Ani..”
“Dia tidak memberitaumu? Siang tadi dia pulang dan langsung mengepak barang-barangnya. Katanya ia dipindahtugaskan keluar kota.”
“APA??! Pindah tugas? Keluar kota? Berapa lama?”
“Entahlah, mungkin akan lama karena sepertinya ia mengangkut semua barangnya dari sini. Bahkan ia bilang aku boleh menjual kamar ini pada orang lain. Aku tidak tau kenapa mendadak seperti ini. Bahkan kau saja sampai tidak tau.”
Rasanya aku ingin menangis mendengar berita itu. Begitu mengucapkan terima kasih aku langsung masuk ke kamarku, menyalakan lampu dan mencari Ryeowook oppa seperti orang gila. Aku masih berharap ini hanya lelucon, Ryeowook oppa akan muncul dari kamarku dan berkata ini semua hanya keisengannya membohongiku, dan kemudian menyuruhku makan bersama. Tapi kamarku benar-benar tidak ada orang. Tidak ada sosok Ryeowook oppa yang kuharapkan. Aku pun terduduk lemas di sofa sambil menangis.
Waeyo, oppa? Kenapa kau pergi tanpa memberitauku? Apa kau terlalu serius menanggapi ucapanku semalam sehingga kau begitu marah dan meninggalkanku? Mianhae, oppa. Aku tidak akan mengatakan hal itu lagi. Aku tidak akan berbohong lagi padamu, aku akan makan masakanmu walaupun kau  memasak sayur yang paling tidak enak sekalipun.”
Dan saat itu pula aku menyadari bahwa aku begitu kehilangan Ryeowook, begitu sedih dengan kepergiannya. Aku memang menyukainya. Aku mencintainya.
***
Tiga tahun berlalu. Sejak kejadian itu aku tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Ryeowook. Semua permintaan maafku melalui e-mail maupun SMS tidak mendapat respon sama sekali. Aku sudah tidak tau lagi apa yang harus aku lakukan, aku pun memutuskan untuk melanjutkan hidupku apa adanya. Aku masih menjalankan rutinitasku di kantor seperti biasa. Eun Hyuk pun akhirnya sudah menikah dengan tambatan hati yang dulu pernah ia katakan. Aku turut bahagia atas pernikahan mereka. Sampai sekarang pun aku selalu menghadirkan sayuran dalam makananku dan belajar memasak sendiri dengan panduan buku memasak yang aku beli di toko buku. Walaupun hasilnya tidak begitu memuaskan, tapi ini lebih baik daripada makan di luar. Perkataan Ryeowook masih terngiang di telingaku. Makanan rumah lebih sehat daripada makanan di luar. Aku masih tinggal di wisma yang sama. Sesekali bila aku melewati kamar Ryeowook dulu, aku selalu berhenti sejenak dan mengenang saat-saat ketika ia masih tinggal di kamar itu. Entah kenapa sampai saat ini belum ada yang menempati kamar itu. Tapi kupikir bagus juga, lebih baik kamar itu kosong daripada ditinggali oleh orang baru yang membuatku tidak bisa menatap kamar itu sambil mengenang sosok Ryeowook.
“Selamat pagi, Hyun Mi eonni..” salah satu tetanggaku yang baru menginap di wisma ini selama 1 bulan menyapa.
Ne, selamat pagi.”
Eonni mau berangkat kerja?”
Ye. Kau?”
“Aku mau ke kampus. Eonni kenapa sering sekali memandangi kamar itu?”
“Ah, tidak apa-apa. Dulu temanku pernah tinggal di sini. Aku hanya merindukannya.”
Jinjja? Aku dengar kamar ini sudah ada yang membeli. Hari ini sudah akan ditempati.”
“Benarkah?”
Gadis itu mengangguk.
“Aku ke kampus dulu ya, eonni. Eonni mau keluar bersama?”
“Ah, ye. Baiklah.”
Kami berdua pun keluar wisma bersama. Sayang sekali kamar itu akhirnya dibeli orang. Aku jadi tidak bisa memandanginya lagi. Sudahlah, mungkin ini pertanda bahwa aku memang harus melupakan Ryeowook oppa. Entah aku bisa atau tidak.
***
Memang benar. Saat aku pulang kerja kamar itu sudah berpenghuni. Lampu depan kamarnya menyala, namun lampu di dalam kamar tidak. Mungkin penghuninya sudah tidur karena ini sudah pukul 10 malam. Hah, aku sungguh merindukan Ryeowook oppa. Aku pun melangkah gontai menuju kamar.
“Eh?” aku melihat ada sebuah kotak bekal di meja depan kamarku dengan sebuah kartu di atasnya. Aku pun mengambil kartu itu dan membacanya.
Untuk penghuni kamar B409.
Salam kenal. Aku penghuni baru di sini. Makanan ini sebagai salam perkenalan dariku. Tadinya aku ingin memberikan secara langsung tapi sepertinya kau belum pulang. Jadi aku taruh di atas meja. Semoga kau suka. ^^”
Aku membolak-balikkan kartu itu tapi tidak ada nama yang tertera di sana. Aneh sekali, jika ia ingin berkenalan dengan penghuni di sini, seharusnya ia memberitahukan namanya. Jadi jika besok aku bertemu dengannya, aku bisa menyapanya. Tapi ya sudahlah. Aku pun membawa kotak itu masuk ke dalam kamar dan membukanya di dapur. Di dalamnya ada seposi nasi beserta lauk berupa daging ayam cincang, sayur brokoli, dan wortel. Hah, lagi-lagi aku teringat Ryeowook oppa. Dia juga sering memasak brokoli dan wortel. Seketika itu juga perutku berbunyi. Ya, aku memang belum sempat makan malam. Aku pun membawa kotak itu ke meja dan melahapnya.
“Jadi kau sekarang suka makan sayur?” suara itu terdengar dari belakang. Aku langsung melonjak dan menoleh ke belakang.
“RYEOWOOK OPPA???!!!” aku begitu terkejut. Aku mengerjap-ngerjap dan menampar pelan pipiku. Tapi Ryeowook oppa masih di hadapanku. Tersenyum.
“Lama tidak berjumpa, Hyun Mi.”
Aku langsung berlari dan memukul Ryeowook. Air mataku sudah tidak terbendung lagi.
Waeyo, oppa? Kau dari mana saja? Mengapa meninggalkanku tanpa kabar? Kenapa e-mail dan SMS-ku tidak dibalas? Oppa tau? Aku sangat merindukan oppa! Siapa yang memasak untukku? Aku harus memasak sendiri! Mengganti sprei sendiri. Oppa jahat! Jinjjayo!!” kali ini aku sungguh menumpahkan kekesalan sekaligus kesedihanku pada Ryeowook.
Ryeowook menarikku dalam pelukannya. Aku sempat memberontak tapi akhirnya aku luluh juga. Aku membiarkan Ryeowook memelukku, seperti dulu saat aku bersedih. Pelukan Ryeowook selalu membuatku tenang.
Mianhae, Hyun Mi.”
Oppa tidak perlu meminta maaf. Aku yang salah. Mianhae, oppa. Aku telah menyakiti hatimu malam itu. Aku sungguh tidak bermaksud menyakiti hati oppa.”
Gwenchana, Hyun Mi. Aku yang seharusnya minta maaf. Waktu itu aku sebenarnya ingin mengatakannya padamu, tapi aku tidak sanggup. Aku juga tidak ingin berpisah denganmu. Tapi malam itu aku merasa kau memang tidak membutuhkan aku lagi. Jadi lebih baik aku diam-diam meninggalkanmu. Tapi sekarang aku tidak akan meninggalkanmu lagi.”
“Siapa bilang aku tidak membutuhkan oppa? Selama oppa pergi aku selalu merindukan masakan oppa. Aku selalu berharap oppa pulang memasakkan makan malam untukku.”
“Bukankah kau bisa makan di luar?”
“Bukankah oppa bilang makanan rumah lebih sehat?”
“Jadi kau merindukan masakanku?”
“Tentu saja!”
“Apa kau merindukanku?”
Aku melepaskan pelukan Ryeowook.
Ani!” aku menunduk salah tingkah.
Jinjjayo?”
Ne.
Ryeowook hanya menghela nafas. Mungkin ia kecewa. Aku tau sebenarnya Ryeowook oppa menyukaiku, tapi mengapa ia tidak pernah jujur padaku. Aku menunggumu, oppa. Katakan saja perasaanmu! Aku semakin gemas melihat tingkahnya.
Oppa berharap aku merindukan oppa?” aku memancingnya dengan pertanyaan itu.
Mwo?” Ryeowook oppa tampak terkejut. Tampangnya lucu sekali. Sudah jelas ekspresinya menyiratkan bahwa ia tidak percaya aku bisa mengetahuinya.
“Aku memang tidak merindukanmu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat merindukanmu. Saranghae, oppa.” Kataku pelan tapi mantap. Ryeowook semakin melongo. Seketika itu juga aku melihat wajahnya memerah. Ryeowook oppa malu! Ini pertama kalinya aku melihat wajah malu oppa.
“Kenapa oppa diam? Oppa tidak mencintaiku? Yah, sudahlah, berarti aku bertepuk sebelah tangan. Kkaja, lupakan saja. Aku mau lanjut makan.”
Sa.. Saranghae, Hyun Mi.” Ryeowook oppa akhirnya mengatakannya. Aku pun menahan senyum.
Mwo? Kau bilang apa tadi? Suaramu terlalu kecil, aku tidak mendengarnya.”
“Aishh.. Jinjja, Hyun Mi! Masa kau tidak mendengarnya?”
“Sama sekali tidak. Kau seperti berbisik.”
Ryeowook oppa menggaruk kepalanya dan menunduk salah tingkah.
“Ah, oppa ini payah sekali. Huh!” aku pura-pura marah.
SARANGHAE, HYUN MI!” Ryeowook sedikit berteriak. Aku langsung tertawa.
“Tidak perlu berteriak seperti itu, aku tidak tuli.”
“Kau mengerjaiku ya?”
Aku memeletkan lidah. Ryeowook langsung menghampiriku dan mengelitik pinggangku. Aku terus memberontak karena geli, namun Ryeowook terlalu kuat memelukku sampai aku tidak bisa menghindar.
“Cukup, oppa! Ampun!!” teriakku.
Kami berdua tertawa bersama.
“Awas kau kalau mengerjaiku lagi. Aku akan memasak sayur yang banyak dan menyuruhmu makan semuanya!”
“Silahkan saja! Aku sudah terbiasa makan sayur.”
“Benarkah? Baguslah kalau begitu.”
“Oh ya, oppa, kau tau, bekas kamarmu dulu sudah ditempati orang lain. Lihat, ini bekal makanan dari orang itu. Dia meletakkannya di meja depan kamarku karena aku belum pulang tadi. Tapi aneh sekali, ia tidak menulis namanya. Huh, padahal aku ingin oppa tinggal di sebelah kamarku lagi. Oh ya, oppa tinggal di mana sekarang? Biar aku bisa mengunjungimu kapan-kapan.”
“Kau bisa mengunjungiku setiap hari.”
Mwo? Kau tinggal di dekat sini? Di mana?”
“Sebenarnya bekal itu dariku.”
MWO??! Ini bekal dari oppa? Jadi oppa yang..”
Ne. Aku yang tinggal di kamar sebelah. Lucu ya, ternyata belum ada yang membeli kamar itu. Jadi aku memutuskan untuk membelinya lagi.”
“Itu bukan lucu namanya. Tapi jodoh! Oppa dan aku memang ditakdirkan bersama.” Aku tersenyum. Ryeowook juga ikut tersenyum lalu mengusap rambutku dengan lembut.
Saranghae, Hyun Mi..” Ryeowook mulai bisa mengungkapkan perasaannya. Aku senang sekali.
Saranghaeyo, oppa..”


***THE END***