Thursday, January 9, 2014

不止白馬王子 (More than Prince Charming)


Story type     : One Shoot
Chinese Title : 不止白馬王子
English Title  : More Than Prince Charming
Cast:   - Dean Fujioka
           - Lin Chen Xi

***

Zhao bu dao ren shuo xin li de ji mo
Zhao bu dao ren dong pa hei de zhe mo
Zhao bu dao ming zhong zhu ding zai yi qi de na ge ren
Hen duo ren dou xiang wo, yi ge ren guo sheng huo
Ai zhe you jian dan bi hua
Que bi xiang xiang fu zha, hen an ding ai bian hua
Wo ai guo ji ge ren, ye bei ai guo ji bian
Que hai shi mei neng jiang xing fu liu xia
Ai shi bu ke shu de ma
Wei he wo hai xiang xin ta bu shi du xing xia
Wo zai deng yi ge ren, zai deng wo de yong heng
Gao su wo ai bu dan xing, bie hai pa.
-Show Luo_Ai Bu Dan Xing-

“Chen Xi, qu kai menYou ren lai! (Buka pintu. Ada tamu!)” ibuku berteriak sangat kencang di saat aku sedang menikmati lagu-lagu kesukaanku di kamarku yang nyaman. Hari ini adalah hari Minggu, hari di saat aku berhak untuk beristirahat sejenak dari kepenatan setelah 5 hari bekerja. Tapi kenapa ibu tidak mau mengerti? Kenapa harus aku yang membuka pintu? Tidak bisakah ibu sendiri yang membukanya? Lagipula tamu itu pasti bukan untukku, entah tamu untuk ayah atau ibu. Teman-teman sekantorku bisa dibilang tidak mungkin datang ke rumahku karena rumah kami yang sangat berjauhan.

“Chen Xi!! Ibu sedang memasak, cepat turun dan buka pintu!” seolah menjawab pertanyaanku, ibu kembali berteriak, membuatku mau tak mau turun dari ranjangku dengan perasaan tidak rela dan mematikan player di atas meja.

“Iya, bu!!”

Aku pun keluar kamar dan sempat melihat ibu kembali ke dapur dengan tergesa-gesa. Memangnya ibu sedang  memasak apa? Biasanya setiap Minggu ibu tak pernah memasak dan kami sekeluarga akan makan di luar ataupun menggunakan jasa delivery.

Begitu pintu depan rumah kubuka, tampak seorang pria sedang memunggungiku dengan setelan kaos berkerah berwarna putih dan celana jeans. Dari potongan rambutnya yang sedikit panjang, aku langsung tau siapa yang datang.

Qing jinWo qu jiao wo ba. (Masuk saja, biar kupanggilkan ayah).” Kataku singkat dan agak ketus.

Dean langsung membalikkan badannya. Detik berikutnya ia tersenyum manis padaku. Senyuman yang selalu kulihat setiap minggu akhir-akhir ini. Entah kenapa sejak 4 bulan yang lalu, Dean, salah satu rekan bisnis ayahku, selalu datang ke rumahku setiap akhir pekan untuk menemui ayah. Entah apa yang membuat mereka terlihat dekat, mengingat usia Dean yang mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. Dan aku juga tak pernah tahu apa yang mereka bicarakan, yang pasti mereka akan menghabiskan waktu berbincang-bincang hingga sore tiba.

Aku sendiri tidak begitu suka dengan kehadiran Dean karena ia telah merusak hari tenangku di akhir pekan. Aku yang biasanya banyak berbincang-bincang dengan ayah di akhir pekan, akhir-akihir ini jadi berkurang sejak kehadiran Dean. Dan aku harus rela hanya dengan menghabiskan waktu dengan mendengarkan musik di kamar.

Tapi sebenarnya.. Bukan hanya alasan itu saja yang membuatku tidak menyukai kedatangan Dean. Setiap kali aku melihat wajah Dean dan senyum manisnya yang kuakui cukup menawan, kadang membuat jantungku berdetak lebih cepat dan nafasku terasa lebih sesak, namun.. menenangkan. Aku tidak tau apa yang kurasakan dan aku tidak mau tau karena yang aku tau, ini pertanda buruk.

Bagi wanita biasa sepertiku yang selalu patah hati, menyukai seseorang adalah hal yang paling kuhindari. Aku tidak mau lagi jatuh di kubangan yang sama. Aku tidak mau lagi menyukai seseorang dan selalu berakhir dengan patah hati. Aku selalu berharap bisa menyukai seseorang dengan penampilan yang biasa saja, tapi hatiku selalu memilih pria dengan penampilan bak seorang pangeran berkuda putih dan itulah yang menyebabkan perjalanan cintaku tak pernah mulus. Entah karena pria itu sudah memiliki pacar, bahkan sudah punya istri, atau hanya karena ia tidak menyukaiku. Ya, pria tampan memang tak pernah ditakdirkan untukku.

Dean, adalah salah satu dari pria dengan wajah setampan pangeran berkuda putih, bahkan lebih indah dari itu. Darah Jepang dan Cina mengalir dalam tubuhnya, membuat wajah orientalnya tampak berbeda dengan pria kebanyakan. Dan itu berarti bencana bagiku! Aku harus menghindarinya, itulah keputusanku.

Dean mengangguk. Aku pun masuk ke dalam rumah diikuti Dean. Begitu aku hendak naik ke atas untuk memanggil ayah, tiba-tiba saja ayah sudah ada di hadapanku, membuatku sedikit terkejut.

“Chen Xi, buatkan minuman untuk Dean.” Kata ayah.

Aku mengernyit sebentar. Biasanya ibu yang menyuguhkan minuman untuk Dean. Lalu aku teringat bahwa ibu sedang memasak di dapur. Jadi mau tak mau aku mengangguk dan berjalan ke dapur. Tapi setelah beberapa langkah aku menepuk dahiku pelan, dan membalikkan tubuhku.

“Dean, ni yao he shen me (ingin minum apa)?” kataku lagi-lagi dengan nada yang sengaja kubuat tidak bersahabat.

“Teh manis hangat saja.” Katanya dengan senyuman yang lagi-lagi membuat jantungku berhenti berdetak.

Aku langsung mengabaikan perasaan itu dan kembali melangkah ke dapur. Kulihat ibuku sedang sibuk dengan penggorengan dan spatulanya.

“Ibu sedang masak apa sih? Tumben sekali hari Minggu begini ibu memasak.”

Ibu hanya menoleh sekilas lalu kembali melanjutkan kegiatan memasaknya. Aku melihat ke dalam isi penggorengan dan melihat ibu yang ternyata sedang membuat mi goreng.

“Kenapa ibu memasak mi goreng?”

“Bukankah sudah tradisi jika ada yang berulang tahun, kita harus makan mi?” pertanyaan balik ibu membuatku mengernyit.

“Memangnya siapa yang ulang tahun?” aku kembali mengingat tanggal hari ini. Sepertinya hari ini bukan hari ulang tahunku, bukan juga hari ulang tahun ayah ataupun ibu.

“Dean.” nama yang keluar dari mulut ibu itu membuatku tersentak.

“De.. Dean? Jin tian shi ta de sheng ri ma (Dia ulang tahun hari ini)?”

Ibu mengangguk.

“Kenapa ia ke sini? Bukankah seharusnya ia merayakan ulang tahun bersama keluarganya?”

“Orang tuanya tinggal di Jepang. Ia di sini sendirian. Makanya ayah menyuruhnya datang untuk makan bersama.”

“Oh.” Hanya itu yang kuucapkan. Jadi hari ini adalah hari ulang tahunnya. Kasihan juga ia tinggal sendiri di sini.

“Hei, kau ke dapur untuk apa?” tanya ibuku.

“Oh iya, hampir saja lupa. Aku mau membuatkan teh untuk Dean.”

Aku segera menyiapkan kantong teh dan membuatkan teh manis hangat untuk Dean. Setelah selesai membuat teh, aku melangkah keluar dari dapur dan segera meletakkan teh itu di atas meja ruang tamu. Aku menatap Dean sekilas yang sepertinya sedang membicarakan masalah bisnis dengan ayah. Aku menimbang sejenak, apa seharusnya aku mengucapkan selamat ulang tahun? Biar bagaimanapun, aku sudah mengetahui hal ini, jadi sudah seharusnya aku mengucapkan selamat, kan? Tapi melihat Dean yang sedang asyik berbincang, aku pun memilih diam dan membantu ibu menyiapkan makan siang di dapur.
...

Makan siang hari ini adalah makan siang paling membosankan yang pernah aku alami. Bagaimana tidak? Sepanjang makan siang, ayah, ibu, dan Dean terus saja bercerita, cerita yang tak pernah bisa kupahami karena itu menyangkut bisnis ayah di kantor. Dan aku hanya bisa terus mengunyah, berharap makanan di atas piringku cepat habis. Begitu piringku kosong, aku segera membawa piringku ke dapur dan mencucinya. Dan tanpa permisi, aku langsung naik ke atas untuk kembali mendengarkan lagu-lagu favoritku, sementara mereka masih saja asyik bercanda tawa. Lama-lama aku jadi merasa mempunyai seorang kakak, dan aku adalah adik tiri yang diabaikan.

Kali ini aku memutuskan untuk mendengarkan lagu di balkon lantai atas rumahku. Mengurung diri di dalam kamar juga lama-lama membuatku bosan. Lebih baik aku mencoba keluar dan menikmati angin siang yang tampak damai. Aku mengambil mp3 dan headset dari kamarku, lalu berjalan ke balkon dan duduk di salah satu kursi. Balkon ini salah satu tempat favoritku dan ayah untuk berbincang-bincang atau bermain monopoli.

Aku pun mulai memasang headset di telingaku dan menikmati setiap lantunan lagu. Semakin lama kesadaranku semakin memudar. Aku hampir tertidur pulas saat tiba-tiba kurasakan sesuatu yang hangat menempel di keningku sekilas. Seperti sebuah kecupan yang biasanya ibu berikan padaku sebelum tidur. Tapi ini terasa berbeda. Aku mencoba membangunkan diriku sendiri. Tapi karena aku sudah terlanjur mengantuk, aku kembali tertidur, dan meyakinkan diriku sendiri bahwa itu hanya bagian dari mimpiku.

Entah berapa lama aku tertidur, saat kubuka mataku, lagu dari mp3-ku masih melantun, langit sudah berubah menjadi sedikit teduh, mungkin sudah hampir sore.

Ni qi lai le ba (Kau sudah bangun)?” suara itu membuatku tersentak dan menoleh ke sampingku. Jantungku rasanya ingin lepas dari tempatnya saat menemukan Dean sedang duduk di kursi sebelahku, menatapku, dan tersenyum.

“De.. Dean? Ni zen me zai zhe’r (Kenapa kau ada di sini)?”

Wo deng ni qi lai (Aku menunggumu bangun).” Katanya.

“Hah? Untuk apa? Bukankah kau biasanya berbincang-bincang dengan ayah?”

Jin tian wo yao dai ni qu zou zou. (Hari ini aku ingin mengajakmu jalan-jalan). Di sekitar sini saja.”

Qu zou zou (Jalan-jalan)?”

Shi. Ni yao ma (Ya. Kau mau)?”

Tentu saja aku mau! Aku berteriak dalam hati. Tapi yang keluar dari mulutku hanyalah “Ke yi (Boleh).” yang tentunya dengan nada datar. Kadang hati dan mulut memang tidak sejalan, atau memang aku yang sengaja membuatnya tidak sejalan karena aku tau aku tidak boleh menyukai pria dengan jenis seperti ini.

Dean memilih untuk menaiki sepeda untuk berjalan-jalan di sekitar komplek perumahan tempat tinggalku. Kebetulan aku memang punya sepeda yang sering kugunakan untuk pergi berbelanja di minimarket dekat rumahku. Kalian bisa bayangkan bagaimana perasaanku saat duduk di belakang Dean. Hatiku benar-benar berdebar-debar, rasanya ingin melompat keluar. Punggung Dean yang lebar dan bidang membuatku ingin sekali menyandarkan kepalaku di sana. Aroma tubuhnya yang lembut membuat hidungku terbuai. Namun lagi-lagi kutepis pikiran gilaku ini dan meyakinkan diriku sendiri bahwa aku tidak boleh membiarkan perasaan ini terus bertumbuh.

Jalanan yang sedikit berbatu membuatku oleng berkali-kali. Ingin rasanya aku memeluk pinggang Dean, tapi aku tau aku tidak bisa melakukannya. Jadi aku memilih untuk mencengkeram sedikit bagian dari kursi boncengan yang terbuat dari besi, membuat tanganku agak sakit.

Dean menghentikan sepeda saat kami tiba di sebuah taman.

“Turunlah.” Katanya.

Aku pun turun dari sepeda dan melihat ke tanganku yang memerah sekilas.

“Untuk apa kita ke sini?” tanyaku.

“Hanya sekedar menikmati pemandangan. Kau pasti bosan di rumah kan?”

Aku tidak menjawab pertanyaannya dan langsung melangkah menuju ayunan, mainan favoritku di taman ini. Dean menyusulku. Sebelum aku sempat mengayunkan ayunanku, ia berjongkok di hadapanku sehingga pandangan mata kami sejajar, membuatku terkejut dan bingung.

“Perlihatkan tanganmu.” Katanya.

Shen me (Apa)?”

“Kubilang, perlihatkan tanganmu.” Nada suaranya terdengar tegas namun lembut, membuatku mengarahkan tanganku padanya.

Dengan cepat ia membalikkan telapak tanganku sehingga tampaklah telapak tanganku yang memerah karena cengkeramanku pada besi boncengan sepeda tadi.

“Kau tidak perlu membuat tanganmu seperti ini.” Katanya sambil mengelus telapak tanganku. Ada rasa hangat yang mengalir dari sana. Aku hanya bisa diam. Menikmati setiap sentuhan tangannya. “Kau bisa memeluk pinggangku lain kali. Lebih aman.” Katanya sambil tersenyum padaku. Aku tidak tau lagi harus berbuat atau berkata apa. Pikiranku kosong, seperti terhipnotis oleh setiap kata, sentuhan, dan senyumannya.

Sheng ri kuai le (Selamat ulang tahun).” Hanya itu kalimat yang terlintas di otakku, mengingat bahwa aku belum mengucapkan selamat padanya.

Xie xie (Terima kasih). Kau tidak ingin memberikanku hadiah?”

Li wu (Hadiah)? Ni yao shen me li wu ne (Memangnya kau mau hadiah apa)?”

Ni (Kau).”

“Hah?”

“Chen Xi, ni xiang cheng wei wo de nǚ peng you ma (kau mau jadi pacarku)?”

Saat itu juga aku melongo, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

“A.. Apa?”

“Aku tau kedatanganku membuatmu tidak nyaman selama 4 bulan ini. Tapi aku ingin sekali bertemu denganmu, walaupun hanya memandang wajahmu yang selalu cemberut saat menatapku. Aku minta maaf karena sudah merusak akhir pekanmu setiap minggu. Aku..”

Ni shi zhen de ma (Kau serius)?” aku memotong ucapannya.

“Apa?”

Ni shuo de, shi zhen de ma (Kau serius dengan perkataanmu itu)?”

Da.. Dang ran ah~ (Te.. Tentu saja.)”

Ke shi (Tapi).. kau ini punya wajah yang tampan, melebihi pangeran berkuda putih.” Kata-kataku mulai terdengar kacau.

Ran hou ne (Lalu)?” Dean menatapku bingung.

Ni bu ke neng xi huan wo (Kau tak mungkin menyukaiku). Ma.. Maksudku, aku tidak mungkin disukai oleh pria tampan sepertimu. Maksudku.. aku selalu patah hati setiap kali menyukai seseorang, dan.. pria yang kusukai selalu memiliki wajah yang tampan. Dan kau.. kau bahkan memiliki wajah lebih tampan daripada pangeran berkuda putih. Kau.. Kau mengerti maksudku, kan? Jadi, tolong bangunkan aku dari mimpi indah ini, cubit aku, pukul aku agar terbangun..” aku mulai meracau.

Tapi bukannya mencubit atau memukulku, Dean malah menarik kepalaku dengan lembut dan mencium keningku. Seketika itu juga kehangatan mulai menjalari tubuhku. Ciuman di keningku saat ini, sama persis dengan yang tadi siang kurasakan saat sedang setengah tertidur. Apakah mungkin yang tadi menciumku adalah Dean? Dan kehangatan ini, bukankah sudah menunjukkan bahwa aku tidak bermimpi?

Begitu Dean menjauhkan bibirnya dari keningku, ia memandangku dengan lembut dan tersenyum.

“Apa sekarang kau masih belum yakin bahwa ini nyata? Chen Xi, wo zhen de xi huan ni (aku benar-benar menyukaimu). Sejak pertama kali aku melihatmu saat aku mengunjungi rumahmu 4 bulan yang lalu. Yah, walaupun kau tak pernah menyukai keberadaanku.”

Wo xi huan (Aku suka)!”

“Hah?”

“Sebenarnya aku suka kau datang. Aku.. Aku bukannya tidak suka. Aku selalu menghindarimu karena aku selalu berdebar-debar saat melihatmu. Aku selalu berusaha memadamkan perasaanku ini karena.. karena aku pikir.. aku tidak seharusnya menyukai seorang pria tampan lagi.” Aku mulai berkaca-kaca.

Dean menarikku ke dalam pelukannya.

“Kau tak perlu memadamkan perasaanmu, Chen Xi, karena aku pun memiliki perasaan yang sama denganmu.”

Aku mengangguk dalam pelukannya. Air mataku menetes karena terharu, tidak percaya bahwa Tuhan akan sebaik ini padaku. Aku selalu patah hati setiap kali menyukai seorang pria tampan, tapi Tuhan malah memberiku seorang pria yang bahkan jauh melebihi kata tampan. Bahkan Dean adalah sosok yang baik dan romantis. Buktinya, ia bisa dekat dengan ayahku yang umurnya berbeda jauh dengan Dean. Itu berarti ada sisi baik dari Dean yang disukai ayah.

“Dean, tadi siang, aku bermimpi.” Kataku. “Aku bermimpi ada seseorang yang mencium keningku. Seperti yang kau lakukan tadi.”

“Kau merasakannya?”

Aku mengangguk.

“Itu bukan mimpi.” Aku pun tersenyum, sudah menduga bahwa ciuman tadi siang memang terlalu nyata untuk bisa dikatakan mimpi.

“Kau tau, aku tidak akan pernah berani mengajakmu keluar tanpa izin ayahmu.” Dean kembali berkata.

Aku melepaskan pelukanku dan menatap Dean.

“Maksudmu, ayah sudah mengizinkanmu mengajakku keluar?”

Dean menggeleng.

“Lalu?”

“Ayahmu.. sudah merestuiku untuk menjadi calon menantunya.”

Aku terbelalak. “Zhen de ma (Benarkah)?”

Dean mengangguk dan tersenyum. Aku pun memeluknya dengan erat. Ini adalah hari paling indah seumur hidupku. Dan kehidupan indah ini akan terus berlanjut selamanya. Aku yakin itu.

Ting zhe na shi jian di da de zhou
Dui jie de ni zai dian tou
Hao xiang yi ge meng jian jian zou dao wo qian tou
Hao xiang zhi dao ni de yi bai fen hui gei zen yang de ren
Qin’ai de ni, bu yao zai mo sheng, zheng jia wo xi fen
Wo xiang wen qin’ai de ni,
Ba gan qing sheng deng peng you bian cheng qing ren
Ke bu ke yi gao su wo biao zhun
Bu yao rang wo yi zhi deng
-Rainie Yang_Li Xiang Qing Ren-

***END***