Sunday, June 21, 2015

Surat untuk Cinta Pertamaku


Hai...

Ah, aku tidak perlu menanyakan kabarmu, tentu saja. Melihat postingan-mu di Instagram dan Facebook, aku tahu kau baik-baik saja di sana, dan bahagia bersama istrimu tercinta. Selamat atas pernikahamu. Maaf, aku baru mengucapkannya sekarang setelah sekitar satu tahun sejak hari itu. Yah, walaupun surat ini juga tak akan kau baca.

Aku ada di sana saat itu. Di pesta pernikahanmu, maksudku. Kau tampak bahagia. Dalam setelan tuxedo berwarna putih gading, kau terlihat jauh lebih tampan. Kapan terakhir kali aku melihat wajahmu secara langsung sebelumnya? Aku pun tak lagi ingat. Kita memang tinggal di pulau yang berbeda. Istrimu cantik saat itu. Tentu saja semua wanita akan terlihat cantik di hari bahagianya. Hm.. Oke, oke. Memang menurutku istrimu tidak cantik-cantik amat. Ayolah, pria setampan dirimu bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih cantik. Oh, tidak, tidak. Aku juga tidak cantik, jangan bandingkan dengan diriku. Aku juga tahu diri. Jika dibandingkan denganku, tentu saja istrimu jauh lebih cantik. Tapi... Yah, baiklah! Istrimu memang cantik! Dan ramah! Tidak, aku tidak cemburu. Aku tidak pantas cemburu.

Kepada cinta pertamaku,
Aku menulis surat ini bukan tanpa tujuan. Aku hanya ingin sedikit mengenang tentang kita berdua. Sebetulnya aku juga bingung apa yang bisa dikenang di antara kita. Kebersamaan kita terlampau singkat. Aku mengenalmu saat aku berusia... Kira-kira 4 atau 3 tahun atau bahkan sebelumnya. Sepertinya aku belum bersekolah saat itu, dan aku masih tinggal di pulau yang sama denganmu. Kau sering menginap di rumahku, bermain bersamaku, bahkan kau pernah tidur di kamarku. Aku selalu senang jika kau datang. Entahlah, kehadiranmu selalu membuat hatiku melonjak gembira. Kau yang baik hati, kau yang selalu menghiburku saat sedih, kau yang menemaniku di hari-hari pertamaku bersekolah, kau yang mengajakku ke lapangan basket untuk melihatmu bermain, dan kau juga yang sering berkata bahwa akulah kesayanganmu.

Aku tidak mengerti perasaan itu. Ayolah, yang benar saja? Seorang anak berusia 3 tahun memangnya bisa mengerti apa? Aku bahkan tidak tahu apakah aku pantas menyebutmu sebagai cinta pertamaku. Tapi bukankah perasaan bahagia atas kehadiranmu itu seharusnya bisa dikategorikan dengan cinta? Atau minimal rasa suka? Entahlah, aku sendiri bahkan tidak bisa menjawabnya.Ya, anggaplah itu hanya perasaan bahagia yang umumnya dimiliki oleh seorang anak kecil ketika diajak bermain oleh temannya, dan mustahil seorang anak berusia 3 tahun memiliki perasaan seperti itu. Tapi bagaimana jika kukatakan bahwa perasaan itu tetap ada hingga aku beranjak remaja?

Kita masih saling berkirim pesan di awal-awal kepindahanku ke Jakarta. Aku selalu tersenyum sendiri setiap kali membaca pesanmu. Bahkan saat kau sempat datang ke Jakarta dan menemuiku, aku merasa gugup dan berdebar-debar. Kau terlihat jauh lebih tampan dari kali terakhir aku melihatmu. Senyummu semakin menawan, suaramu menjadi berat, dan tubuhmu tegap layaknya pria dewasa.

Namun semakin aku terpesona padamu, semakin aku memaksa diriku untuk berhenti. Biar bagaimanapun, kau dan aku tidak akan mungkin menjadi "kita". Kau dan aku akan memiliki kehidupan kita sendiri nantinya. Kata-katamu dulu bahwa aku adalah kesayanganmu pun pada akhirnya tak akan bermakna apa-apa. Hingga suatu hari setelah aku tahu kau akhirnya telah memiliki seseorang, aku benar-benar memutuskan untuk mengubur dalam-dalam perasaan itu.

Lalu di hari bahagiamu saat itu, aku senang melihat senyuman bahagiamu, dan aku bersungguh-sungguh saat mengatakan bahwa aku tidak cemburu karena perasaan itu memang tidak seharusnya kumiliki. Setelah dipikir-pikir, di antara kita mungkin memang banyak yang bisa dikenang, tapi kenangan itu cukuplah untuk diriku sendiri. Kau sudah bahagia dengan keluarga kecilmu, tidak perlu terbebani dengan perasaanku yang tidak penting. Aku hanya berharap suatu hari aku pun bisa bahagia sepertimu.

Aku tidak menyesal pernah menyukaimu karena dari dirimu-lah aku mengenal perasaan ini. Aku juga tidak akan ragu-ragu untuk menceritakan hal ini pada sahabat-sahabatku. Ketika mereka bertanya siapa cinta pertamaku, maka dengan bangga aku akan menjawab, "Kakak sepupuku."

***

Wednesday, June 3, 2015

[Review] Kamera Pengisap Jiwa - Ruwi Meita

Penulis: Ruwi Meita
Editor: Ry Azzura & Ario Sasongko
Proofreader: Funy D.R,W
Layout: Irene Yunita
Desain Sampul: Gita Mariana
Ilustrasi Sampul: Rudiyanto
Penerbit: Bukune
Cetakan Pertama: Agustus 2014
132 hlm; 13x19 cm
ISBN 602-220-135-7
Genre: Horror







CEKREEEK!

"Terlambat. Kamera tua itu sudah memotret kamu dan keluargamu. Tidak ada satu pun yang bisa selamat." Anak perempuan itu berbicara dengan tatapan kosong. Dia pergi dengan cepat, Anabel tidak bisa menemukannya.

Anabel tidak ingin percaya. Namun, keanehan demi keanehan terus menghampiri. Keluarganya melakukan kegiatan yang sama terus-menerus. Papa berkebun, Mama memasak, dan adiknya bermain trampolin; tanpa makan, mandi, atau tidur! Dan, ah... apa sebenarnya makhluk mengerikan yang dilihatnya itu? Dia  menjerat leher keluarga Anabel dan mengambil jiwa mereka....


Kamera Pengisap Jiwa adalah novel Seri Takut dan karya Ruwi Meita pertama yang aku baca. Saat membaca judulnya, aku yang menyukai cerita misteri langsung tertarik dan sangat senang saat tahu pihak Bukune menggratiskan e-book ini di Play Store untuk jangka waktu tertentu. Aku jadi teringat dengan kakakku yang hobi memotret dan membayangkan bagaimana jadinya jika sebuah kamera dapat mengambil jiwa seseorang. Maka segeralah aku mengunduh e-book ini.

Seperti novel misteri pada umumnya, Kamera Pengisap Jiwa diawali dengan kehidupan sehari-hari sebuah keluarga dengan Anabel si anak sulung sebagai tokoh utama. Ia memiliki seorang adik perempuan bernama Sigi yang biasa dipanggil Bayi Sigi oleh Anabel ketika dia sedang kesal akan kelakuan adiknya. Sigi memang anak yang pecicilan, ia memiliki sifat yang ceria, cerewet, dan tidak bisa diam. Jalannya selalu melompat-lompat karena sejak dulu Sigi ingin sekali memiliki trampolin di rumahnya. Namun apa daya rumah mereka tidak cukup untuk menaruh sebuah trampolin.

Kebalikan dengan Sigi, Anabel cenderung lebih diam. Oleh karena itu ia kurang menyukai adiknya yang tidak bisa diam dan selalu mengganggunya. Anabel sangat suka membuat kartu ucapan. Ia sering membuatkannya kepada teman-temannya. Selain itu, Anabel juga suka memotret dan memiliki sebuah kamera polaroid kesayangan.

Suatu ketika ayah Anabel mendapat hadiah dari perusahaan tempatnya bekerja. Memang setiap tahun perusahaan tersebut selalu memberikan hadiah kepada para karyawannya. Tahun ini sungguh beruntung bagi keluarga Anabel karena mereka mendapat hadiah berlibur ke Plateau Dieng dan berkesempatan menginap di vila milik Harta Wijaya, pemilik dari perusahaan tempat ayahnya bekerja. Namun, benarkah mereka beruntung mendapatkan hadiah tersebut?

Vila milik Harta Wijaya dijaga oleh Pak Simhar, seorang lelaki tua yang sudah bungkuk dengan mata sebelah kirinya terbuat dari kaca. Di ruang tengah vila terdapat ratusan foto berpigura yang digantung di dinding, Foto-foto tersebut adalah foto semua tamu yang pernah menginap di vila tersebut yang anehnya mereka semua sama seperti keluarga Anabel, keluarga yang hanya beranggotakan empat orang dengan dua anak. Pak Simhar meminta keluarga Anabel bersiap-siap nanti malam untuk difoto dan akan dipajang di ruangan tersebut. Saat hendak berfoto, Anabel sedikit merasa aneh dengan vila itu, ia melihat sosok seorang anak perempuan berambut panjang di belakang Pak Simhar namun ketika ditanya, Pak Simhar tidak tahu-menahu soal kehadiran gadis itu. Setelah foto mereka diambil dengan sebuah kamera tua bernama Commodore, kejadian-kejadian aneh pun dimulai.

Keesokan harinya, Anabel mendengar teriakan Sigi dari sebuah ruangan. Saat Anabel menghampirinya, Sigi tengah berteriak senang karena menemukan sebuah trampolin besar di ruangan itu. Setelah Anabel puas bermain dengan Sigi, Anabel berencana mencari orang tuanya namun ia tidak menemukannya. Dari Pak Simhar-lah Anabel tahu bahwa ibunya sedang berada di dapur, sedangkan ayahnya berada di kebun.

Melihat ibunya yang asyik memasak dan ayahnya yang juga asyik berkebun, Anabel memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian di sekitar vila hingga akhirnya ia menemukan sebuah ruangan dengan berbagai macam hiasan yang bagus untuk dijadikan kartu ucapan. Ia pun dengan bersemangat membuat kartu-kartu ucapan terutama untuk Sigi karena adiknya itu sudah lama meminta Anabel membuatkan kartu ucapan untuknya. Hobinya membuat kartu ucapan membuat Anabel lupa waktu hingga akhirnya ia tertidur karena lelah.

Tinggal cukup lama di vila tersebut membuat Anabel menyadari bahwa keluarganya mulai bertingkah aneh. Ibunya terus memasak di dapur tanpa henti, begitu pula dengan ayahnya yang terus-menerus berada di kebun. Ditambah lagi dengan kamar Anabel yang tiba-tiba menjadi berantakan dan terdapat secarik kertas bertuliskan 'Bakar vila ini!'Anabel segera mencari Sigi dan memberitahu semua keanehan tersebut. Ia juga menunjukkan kegiatan ayahnya di kebun dan sebuah tali merah yang menjerat leher ayahnya. Mulanya Sigi sama sekali tidak percaya dengan ucapan Anabel karena ia tidak melihat tali yang menjerat leher ayahnya tersebut, hingga pada akhirnya Anabel memotret Sigi dan menunjukkan foto leher Sigi yang dijerat tali berwarna merah padanya, barulah Sigi percaya.

Anabel dan Sigi mencari solusi bersama. Anabel yang sempat melihat sosok anak perempuan saat ia membuat kartu ucapan, mengajak Sigi menemui gadis tersebut dan ternyata gadis bernama Arumi itu sudah meninggal. Jiwa Arumi-lah yang dilihat oleh Anabel dan Sigi. Dari penuturan Arumi, Anabel dan Sigi akhirnya mengetahui kebenaran dari vila tersebut dan sosok Pak Simhar tidak seperti yang mereka bayangkan selama ini.

Monday, June 1, 2015

Jalan Pintas

“Ma...” Aku terisak menatap mama yang kini sedikitpun tidak ingin melihatku. Mata mama memerah, aku tahu mama sedang menahan tangisnya. Belum pernah aku bertengkar hebat dengan mama seperti ini. Bertengkar mungkin bukan kata yang tepat. Lebih tepatnya akulah yang membuat mama marah. Tidak, mama pasti sangat kecewa ketimbang marah.
“Kenapa, Dewi?” mama berbicara setelah bermenit-menit kami dikelilingi oleh rasa sepi yang menyesakkan.
“Dewi.. Dewi tidak tahu, Ma. Bukan sekali ini saja Dewi merasakan hal seperti itu.”
“Sejak kapan?” Nada suara mama masih terdengar datar.
“Sejak.. SMP..” kataku dengan terpatah-patah. “Dewi tidak tahu kenapa Dewi berbeda dengan teman-teman yang lain... Mereka.. Mereka menyukai teman sebaya kami, sedangkan Dewi.. Tidak tertarik. Dewi malah.. Malah menyukai seorang guru.”
Mata mama terpejam kala mendengar kalimat terakhirku. Beberapa saat kemudian mama menarik nafas dalam-dalam dan bertanya, “Apa karena ayah? Apa semua ini karena kau merindukan sosok seorang ayah?!” Nada suara mama meninggi, aku tertegun mendengarnya. Bibirku terkatup rapat memikirkan pertanyaan mama.
Benarkah yang mama katakan barusan? Benarkah aku lebih menyukai pria yang usianya jauh di atasku karena aku merindukan sosok seorang ayah? Kata mama, ayah sudah meninggal sebelum aku lahir. Sejak kecil aku memang sering bertanya-tanya bagaimana rasanya memiliki seorang ayah. Melihat teman-temanku digendong dan dimanja oleh ayahnya membuatku iri. Aku pernah bertanya kepada mama mengapa ia tidak menikah lagi, mama menjawab bahwa ia tidak membutuhkan pengganti ayahku. Mama tidak ingin aku merasa tidak nyaman dengan kehadiran orang asing. Aku senang mendengar jawaban mama, tapi keinginan untuk memiliki seorang ayah terlalu kuat di dalam hatiku.
Hingga suatu hari aku bertemu dengan Thomas Brawijaya. Aku bekerja di sebuah biro periklanan dan Thomas adalah salah satu klienku. Pertemuan kami tidak istimewa layaknya seorang konsultan dan klien. Namun semakin hari perbincangan kami yang semula hanya melibatkan pekerjaan, menjurus ke sesuatu yang bersifat pribadi. Jujur aku merasa nyaman berbincang dengan Thomas. Ada perbedaan yang kurasakan saat mencurahkan isi hatiku padanya. Ia pendengar yang baik, tidak pernah mengintimidasi, dan selalu memberikan solusi yang hebat.
Aku tahu ada yang salah pada diriku. Namun aku tak memungkiri betapa bahagianya aku saat mengetahui bahwa Thomas belum berkeluarga. Sekian lama kami berteman, Thomas akhirnya mengungkapkan perasaannya padaku. Aku menerimanya dan kami pun jadian. Aku bahagia, namun aku tahu cepat atau lambat kebahagiaan ini akan berakhir. Mama pasti tidak akan menyetujui hubungan kami.
“Demi Tuhan, Dewi, dia lebih pantas menjadi ayahmu!” Sepertinya mama menjadi marah karena aku tidak mampu menjawab pertanyaan mama tadi.
“A.. Aku tahu..” Isakanku terdengar semakin keras. “Tapi Thomas belum berkeluarga. Apa salahnya?”
“Kau tidak akan bahagia, Dewi! Usia kalian terlampau jauh. Pokoknya mama tidak akan merestui!”
Tanpa menunggu jawabanku, mama beranjak dari sofa dan masuk ke dalam kamar, disusul dengan suara pintu dibanting. Aku kembali menangis. Sepertinya aku tidak akan bisa meyakinkan mama. Sambil terisak aku merogoh saku dan mengeluarkan ponselku. Kutekan sebuah nomor yang sudah kuhafal di luar kepala. Tidak sampai tiga deringan suara Thomas terdengar di ujung telepon.
“Halo, Wi.”
“Thomas.. Aku setuju.” Demi meyakinkan hatiku, aku memejamkan mata lalu melanjutkan, “Kita kawin lari saja.”

***